Rinai Hujan 22

5.1K 313 2
                                    


Cahaya itu menyilaukan mata. Rinai mengerjap-ngerjapkan matanya saat kilasan cahaya itu menembus matanya. Ia sangat mengenal tempat ini. Ia sangat mengenal aroma ini. Tentu saja ia masih ada di rumah sakit. Oh Tuhan, berapa lama aku ada di tempat ini? Rinai ingin segera bangun dari tidurnya. Ia mencoba untuk mengangkat kepalanya. Auuchh!! Tapi ia merasakan perutnya sangat sakit. Apa yang sebenarnya terjadi padaku?Sepertinya aku baru aja mengalami sesuatu yang buruk. Dalam ingatannya saat itu, terakhir kali ia berada di kamar ini bersama Rei. Dan... ia minta mangga! Lalu? Lalu ia ingin buang air kecil. Saat berada di toilet ia mimisan lagi. dan setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi. Ya Tuhan...

"Rinai, kamu sudah sadar, nak?" suara lembut mama akhirnya semakin menegaskan Rinai bahwa ia baru saja mengalami sesuatu yang buruk.

"Ma, Rinai kenapa?" Rinai memandang mamanya yang sudah ada di sisi ranjang.

"Kamu udah nggak apa-apa, sayang. Kamu udah sembuh," Rinai dapat menangkap senyum lega mama. Mama menggenggam tangannya dengan erat. Sementara papa berdiri di sisi mama dan merangkul bahu mama.

"Pa, Ma, Rinai boleh tau kan sebenarnya Rinai sakit apa?" Rinai masih memaksa orangtuanya. Kali ini ia tidak bisa menunggu lagi.

Papa meremas bahu mama pelan, seakan memberitahu kalau ini adalah saat yang tepat untuk memberitahu Rinai kebenarannya. Mama mengangguk pelan dan akhirnya berbicara, "Kamu menderita penyakit ginjal genetik, Sayang. Dan kamu hampir saja mengalami gagal ginjal kalau nggak segera di operasi. Beruntung sekali disaat-saat kritis ada yang sudah siap untuk menjadi donor kamu. Sebenarnya papa yang akan mendonorkan ginjalnya, tapi dokter bilang sudah ada donor untuk kamu," Mama akhirnya menjelaskan semuanya walau hanya garis besar.

Rinai ternganga dan menutup mulutnya. Tidak mau mempercayai apa yang baru saja ia dengarkan. Jadi... saat ini ada ginjal orang lain di tubuh gue? Siapa yang dengan sukarela memberikan ginjalnya sama gue? batin Rinai. Rinai memegang perutnya yang sedikit perih. Bagaimanapun, ia sangat berutang budi pada orang yang mendonorkan ginjalnya pada Rinai.

"Siapa orangnya, Ma?" tanya Rinai. Ia berharap mama dan papanya segera memberikan jawaban agar Rinai bisa secara langsung berterimakasih dengan orang tersebut.

Papa menggeleng pelan, "sayangnya papa tidak tau, Sayang. Pihak rumah sakit juga tidak mau memberitahu. Sepertinya memang orang itu meminta identitasnya untuk dirahasiakan."

Rinai menatap orangtuanya dengan raut sedih, "siapapun yang mendonorkan ginjalnya ke aku, aku harap orang itu akan selalu diberi kebahagiaan. Dan aku berharap suatu hari nanti bisa membalas budi atas kebaikan orang itu dan bilang terimakasih secara langsungg."

Mama mengelus rambut Rinai dan tersenyum, "mama juga berharap suatu hari nanti bisa bertemu dengan malaikat kamu itu. Karena berkat dia, mama nggak kehilangan putri mama satu-satunya. Putri yang sangat mama cintai."

Air mata menetes di pipi Rinai. Ia memeluk mamanya erat. Dalam hati ia hanya bisa bersyukur dan berterimakasih pada Tuhan telah mengirimkan malaikat yang untuk menyelamatkan hidupnya.

***

Hujan yang mengguyur kota Bandung sejak tadi pagi hingga sore hari membuat hawa malam ini begitu dindin. Rinai membalik-balikkan tubuhnya yang merasa kedinginan. Selimut rumah sakit terlalu tipis untuk bisa menghangatkan tubuhnya. Rinai memandang Rei yang sudah tertidur lelap di sofabed. Sejak tadi siang saat menemuinya, Rei lebih banyak diam. Ia juga hanya berbicara dengan orangtua Rinai jika memang ia diajak berbicara atau ditanya sesuatu. Dan baru saja orangtua Rinai pulang ke rumah Opa dan Oma. Jadi Rei yang menginap di rumah sakit seperti hari-hari sebelumnya. Rinai menduga, sepertinya Rei marah dengannya soal kejadian ia meminta mangga itu. Tapi bagaimana lagi dong? Saat itu Rinai memang kepingin mangga. Huft.. Rinai menghela nafas berat.

Rinai HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang