Rinai Hujan 14

5.5K 318 10
                                    


Menjadi tegar ternyata tidak mudah, yang mudah adalah berpura-pura tegar. Itulah yang dialami Rinai. Sejak kejadian di lapangan sore itu, Rinai merasakan ada yang aneh terhadap dirinya. Ia tidak berani lagi berdekatan dengan Rei. Setiap kali melihat Rei saja sudah membuat jantungnya berdegup tak karuan. Ia tahu perasaan seperti ini, perasaan yang paling ia takuti. Perasaan yang dulu pernah ia rasakan terhadap Tirta, bahkan perasaan yang sekarang terasa lebih dalam.

Alarm di otak Rinai berdering-dering, mengingatkan bahwa ia tidak boleh terlarut dalam perasaan ini. Meskipun hati Rinai dengan jelas menolak apa yang dipikirkan oleh otaknya. Dan inilah hasilnya, Rinai berhasil mengelabuhi semua orang. Ia tersenyum, tapi hatinya menangis. Apakah perasaan seperti ini yang dialami oleh Rei? Sekali lagi, Rinai tidak bisa menebak.

Angin malam yang berhembus membuat badan Rinai menggigil. Ia mengeratkan selimut yang melekat pada tubuhnya. Ia tidur meringkuk dengan posisi yang sangat tidak nyaman. Sofa adalah tempat tidur barunya sejak Rei kembali memakai kamarnya. Rinai sengaja tidur saat Oma dan Opa sudah terlelap dan bangun disaat Oma dan Opa belum terjaga agar tidak membuat mereka curiga. Selimut tipis ini pun tidak mampu membuat Rinai berhenti menggigil. Rinai bangun dan menggosok-gosokkan kedua tangannya agar lebih terasa hangat. Sesuatu mengalir dari hidung Rinai. Darah. Rinai mengusap dengan cepat darah yang keluar. Ia berlari menuju kamar mandi. Belum sempat ia sampai disana, tubuhnya menabrak tubuh jangkung seseorang. Suasana yang gelap karena lampu yang terbiasa dimatikan jika malam hari membuat Rinai sulit mengetahui siapa orang yang ada di hadapannya.

Rinai terus menutupi hidungnya dan kembali melanjutkan perjalanannya menuju kamar mandi yang sempat terhalang. Ia tidak mempedulikan orang itu, yang ia pedulikan saat ini adalah darah yang mengalir semakin deras. Wastafel itu kini berwarna merah, darah Rinai menempel banyak disana. Rinai menyalakan kran dan membersihkan hidungnya dari darah. Ia sudah terbiasa dengan semua ini. Ia memang sering sekali mimisan. Dingin juga bisa menjadi faktor yang menyebabkan ia mimisan. Setelah darahnya berhenti dan Rinai sudah membersihkan semuanya, ia berbalik untuk kembali ke sofa ruang tengah.

"Mimisan lagi?"

Sosok itu membuat Rinai terkejut. Rei! Kenapa ada Rei disini? Sejak kapan ia berada disini? Rinai tidak mampu berpikir lagi. Ia mematung. Jantungnya kembali berpacu dalam skala yang tidak normal. Terlalu cepat.

"Rei... kenapa lo ada disini?" Rinai balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Rei sebelumnya.

"Tadi lo nabrak gue, terus gue ikutin lo," jawab Rei.

"Ohh, jadi itu tadi lo, ya? Ya ampun, maaf gue nggak tau. Habis tadi gue bingung banget nih sama hidung gue, hahaha..." Rinai berusaha tertawa, tapi tak mampu menyembunyikan kegugupannya.

"Lo punya penyakit apa sih?" Tanya Rei lagi sambil melipat tangannya di dada.

"Nggak punya penyakit apa-apa. Kalo soal mimisan ini emang dari sononya gue sering banget. Hidung gue tuh sensitif banget. Gue demam, pilek, atau sakit apa aja ya ujung-ujungnya bisa mimisan," jelas Rinai. Rei mengangguk-angguk. "Hmm... lo nggak mau ngomong apa-apa lagi kan? Kalau nggak, gue mau balik ke ruang tengah," kini Rei menggeleng. Rinai tersenyum kemudian melangkahkan kakinya keluar kamar mandi. Saat ia melewati Rei, tangan dingin itu menarik tangannya.

"Tidur di kamar gue, Rin..." Rei tidak bertanya. Ia memerintahkan dengan nada yang amat datar.

"Terus lo gimana? Bukannya kamar Kak Rain udah dikunci?"

"Lo ngantuk?" Rinai bingung kenapa Rei tidak menjawab pertanyaannya dan malah menanyakan pertanyaan yang jauh dari topik. Akhirnya Rinai menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Kalau gitu kita nggak usah tidur. Gue mau ngomong sama lo."

Rinai HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang