Aku melangkah setengah berlari menuruni lereng bukit dan Alex masih menggandengku. Hamparan luas di sekitarku membuat mataku terasa bebas memandang. Semakin lama tubuhku semakin lelah sementara Alex menggandengku dengan langkah semangat. Angin begitu semilir membuat rambutku melambai-lambai.
"Masih jauh kah?" tanyaku pada akhirnya.
"Kau lelah?"
Langkah kami terhenti sejenak.
"Aku baik-baik saja," jawabku dengan nafas sesak.
"Mau kugendong?"
"Tidak usah. Aku tidak apa-apa."
"Baiklah. Ayo kita lanjutkan perjalanan. Dua kilo meter lagi kita sampai."
Kami kembali melangkah. Dari kejauhan terlihat sangat dekat tapi ternyata jauh sekali. Sudah sekitar empat kilometer kami berjalan dan dua kilometer bukanlah jarak yang dekat. Berarti bangunan di dalam kota besar sekali. Kakiku sudah mulai terasa pegal. Apa tidak ada kendaraan atau semacamnya?
Satu kilometer sudah terlewati dan kami masih terus berlari hingga beberapa menit kemudian, kami sampai di sebuah pintu masuk setinggi lima meter dengan lebar tujuh meter. Di atasnya terukir tulisan ZARAKH dan di atasnya lagi terdapat angka empat. Kami berhenti sejenak.
"Ini pintu ke empat kota Zarakh. Pintu utama ada di sebelah timur dan kita masuk melalui pintu sebelah barat."
"Memangnya ada berapa pintu?"
"Ada enam pintu masuk. Sebenarnya jarak rumahku lebih dekat dari pintu masuk ke tiga, tapi karena kita berjalan mengambil garis lurus jadi sampailah di pintu ke empat."
"Jika aku masuk kesana apa tidak apa-apa? Maksudku—jika mereka tahu ada manusia di sini apa akan baik-baik saja?"
Alex tampak berfikir sejenak. "Baiklah. Pertama, pakailah tudung kepalamu, itu akan meyamarkan wajahmu agar tidak terlihat merona karena kau tahu sendiri bukan? Wajah kami tidak dialiri darah. Kedua, jangan sampai ada yang menyentuhmu atau bersentuhan dengan una, tubuhmu kenyal karena kau terbuat dari unsur daging atau kau akan ketahuan.." Alex menutupi kepalaku dengan tudung kepala di baju yang sudah ia rancang. "Ayo kita masuk."
"Tunggu—." Alex menoleh. "Jika mereka tahu apa yang akan mereka lakukan?" tanyaku masih sedikit ketakutan.
"Kemungkinan besar mereka akan menyeretmu dan melemparmu keluar gerbang." Alex kembali menggenggam tanganku. "Kau sudah siap? Ingat kau tidak boleh gugup. Ambil nafas dan tenanglah."
Aku menghela nafas lalu mengangguk. "Aku siap," ucapku mantap.
Alex mengulurkan tangan ke depan dan menyentuh udara kosong. Perlahan, aku melihat sebuah jeruji besi. Bentuknya semakin jelas hingga memenuhi pintu setinggi lima meter itu. Alex mendorongnya hingga terbuka. Ia mengangguk kearahku dan kami mulai melangkah masuk. Alex menutup pintunya kembali dan dalam sekejap jeruji besi itu kembali menghilang.
'Pintu tak kasat mata.'
Aku kembali melihat pemandangan di hadapanku. Kami berjalan menembus keramaian.
"Di sini sama seperti dimensimu. Ada yang baik dan ada yang jahat, sama seperti manusia, semua berkat penjiwaan kami terhadap mereka. Kau juga harus berhati-hati," bisiknya di telingaku.
Aku hanya mengangguk.
Kulihat di sekelilingku. Tubuh mereka sama seperti manusia, cuma bedanya tubuh mereka kurang lentur dan gerakan mereka agak sedikit kaku, tapi itu hanya sebagian besar saja, karena aku juga melihat una yang benar-benar hampir sempurna miripnya dengan manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Loizh
FantasySUDAH TERBIT ! Una adalah sosok elf namun dengan derajat dan kemampuan yang lebih tinggi di bandingkan para peri maupun elf. Ketika mereka mulai tertarik pada Manusia, mereka akan menjiwainya dan seiring berjalannya waktu, merekapun mulai memiliki k...