Bagian 9

18.8K 1.9K 55
                                    

"Hazna," panggilku dalam pikiranku.

Ruangan gelap dan sepi memudahkanku untuk bertelepati ria. Aku memanggil Hazna karena lebih cepat menjawab dari pada Alex. Entah apa yang terjadi pada Alex sekarang, sudah hampir dua hari aku hanya bisa duduk meringkuk di sudut ruangan. Menahan lapar dan dahaga, memikirkan Alex dan Hazna. Membayangkan apa yang terjadi dengan diriku dalam dimenisku di sana. Aku—terjebak.

"Iya, Karin. Kau kemana saja? Tiba-tiba menghilang dari Telepati!" Suara laki-laki di seberang sana menjawa dengan nada khawatir.

"Maaf untuk yang kemarin. Aku baik-baik saja sekarang." Aku tersenyum mendengar nada suaranya yang mengkhawatirkanku. "Apa kau masih bersama Alex?"

"Dia sedang menuju ke Menara Za'."

"Apa dia pergi bersama Roy?"

"Tidak. Sekarang Alex sudah tidak mempercayainya lagi setelah apa yang dia lakukan padamu."

"Kenapa kau tidak ikut bersamanya? Jangan sampai Roy menemukan Alex."

"Maaf Karin, itu urusan kerajaan. Rakyat jelata tidak boleh ikut campur bukan?"

"Tapi kau dan Alex berteman bukan?"

"Kami berteman semenjak ada kau, tapi tetap saja aku tidak berhak ikut campur."

Aku menghela nafas. "Kau bilang Alex sedang menuju ke menara Za'? Apa kau tahu apa yang dia lakukan di sana?"

"Aku tidak tahu. Penerawanganku tidak bisa menembusnya."

"Begitu yah." Aku menghela nafas lagi tapi kali ini lebih pasrah. Masalah perebutan kerajaan sudah bukan zamanku di sana. "Hmm—Hazna, bagaimana—." Telepati terputus dan itu mebuatku kesal. Padahal aku ingin bertanya 'Bagaimana keadaanmu di sana?'

"Hazna, kau dengar aku?" panggilku lagi.

Hening. Tidak ada jawaban dan itu sangat menyebalkan sekali. Ini sama saja seperti memanggil Alex akhir-akhir ini, tapi firasatku tidak enak. Tidak mungkin Hazna memutuskan hubungan telepati jika tidak terjadi apa-apa.

KRAKK!!

Kudengar suara pintu dibuka, membuatku mendongakan kepala. Pintu itu berderit terbuka dan menampakan sosok yang berdiri di sana. Seorang laki-laki paruh baya membawa tongkat obor, tapi di atasnya bukan api melainkan sebuah bola cahaya berwarna kuning matahari pagi yang terbuat dari semacam sihir. Meskipun terlihat paruh baya, laki-laki itu benar-benar tampan dan tampak berwibawa.

Aku heran, apa semua laki-laki di Loizh berwajah tampan? Apa wanitanya juga semuanya cantik? Jika iya, berarti Loizh adalah dunia yang di penuhi orang-orang yang berpenampilan sempurna meskipun bukan manusia. Laki-laki itu berkulit putih pucat, itu sudah menjadi ciri khas una. Dia memiliki rambut berwarna hitam legam dan mata berwarna hijau emerald. Tubuhnya yang tegap dan ekspresi wajah yang dingin menambah nuansa wibawanya.

"Roy, apakah yang kau maksud adalah dia?" tanyanya pada Roy sambil menatapku.

Kulihat Roy berdiri anggun di belakangnya. "Iya ayah."

Tubuhku menegang setelah mendengar Roy memanggilnya dengan sebutan 'ayah'. Nafasku tercekat di tenggorokan dan aku menelan ludah. Dia—

"Den-dez," gumamku dengan suara terbata.

Itu dia, Dendez! Ia mendekatiku perlahan sambil menatpku intens. "Bolehkah aku menyentuhmu?" Ia menyodorkan tangannya tepat di wajahku.

"Tidak!" Aku menepis tangannya dan merapatkan tudung kepalaku.

Dendez menarik tanganku untuk berdiri lalu membenturkan punggungku ke dinding dan mendongakan wajahku dengan kasar. Ia mencubit pipiku dan menariknya, sama seperti Hazna yang baru pertama melihatku, tapi yang ini lebih kasar dan terkesan angkuh, membuat pipiku terasa ngilu.

LoizhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang