18

4.3K 284 10
                                    

Athalla terbangun karena kedinginan dan lehernya pegal.

Ia masih tertidur di kursi ruang tunggu UGD, kepalanya berada di atas paha Dinda. Dinda pun tertidur, kepalanya bersandar di bahu Bram yang sepertinya menyusul.

Athalla buru-buru duduk, karena ia yakin paha Dinda pasti kram, namun ia langsung menyesalinya karena kepalanya pusing.

"Eh, kok bangun?" tanya Talia. Ia sepertinya tidak tidur.

"Kedinginan, Tan. Yang lain pada di mana?" tanya Athalla begitu ia menyadari bahwa ia tinggal berempat.

"Udah pulang semua. Tapi Wira lagi di cafetaria," jawab Talia.

"Tante gak pulang? Biar Athalla yang tungguin Nata. Ada Kak Wira juga," saran Athalla.

"Tante mau nunggu aja. Barusan ada suster yang keluar, terus dia bilang sebentar lagi selesai. Gak masalah," jawab Talia sambil tersenyum kecil.

Athalla hanya mengangguk mendengar jawaban Talia, lalu ia mengecek ponselnya.

Sudah jam sembilan malam. Ada beberapa pesan dari teman-temannya, mengabarinya bahwa mereka pulang duluan.

Athalla menghela napas, lalu pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Butuh usaha sedikit mengingat tangannya yang diperban.

Ia memperhatikan pantulan wajahnya di cermin. Rambutnya acak-acakan, matanya merah dan berkantung, lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas. Ia membasahi beberapa lembar tisu untuk membersihkan darah di wajahnya. Bagian bawah matanya mulai memar karena hidungnya yang kena hantam.

"Astaga, Tuhan. Kenapa bisa gini sih," gumam Athalla. Ia membasuh wajahnya sekali lagi, lalu berjalan kembali menuju ruang tunggu.

Saat ia sampai, Talia sedang bicara dengan dokter yang menangani Nata.

Athalla buru-buru berlari menghampiri Talia. "Nata kenapa, Tan?"

"Tulang pergelangan kaki kanannya retak, ada beberapa memar di sekitar selangkangan, namun puji syukur tidak ada luka di kelaminnya. Ada memar yang cukup parah di kepalanya. Sisanya hanya memar-memar di bagian tubuh. Kami harus tunggu dia bangun untuk lihat damage lain yang mungkin ada," jelas dokter Febri, dokter yang menangani Nata. "Yang saya khawatirkan adalah trauma yang akan dialami oleh Natasha."

Athalla bisa merasakan Talia menghela napas lega, walaupun ia yakin Talia belum sepenuhnya lega.

"Natasha belum bisa dijenguk, karena ia butuh istirahat. Saya sarankan untuk anggota keluarga pulang saja, besok pagi kembali lagi. Ia sudah bisa dijenguk besok pagi pukul sembilan," lanjut dokter Febri.

"Baik. Terimakasih banyak, Dok," jawab Athalla lalu menjabat tangan dokter Febri, diikuti oleh Talia yang agak speechless.

"Ya udah, kamu pulang gih. Motor kamu tadi dianterin kesini sama Ari," ucap Talia sambil mengelus bahu Athalla.

"Tante pulang sama siapa? Sama Bram aja, ya? Bahaya Tante sendirian naik taksi," saran Athalla.

Athalla membangunkan Dinda dan Bram. Dinda mengucek matanya, lalu tersenyum kecil.

"Bram anterin Tante Talia dulu ya? Lo pulang sama gue aja. Bisa gak, Bram?" tanya Athalla.

"Bisa, bisa. Ayo, Tan. Nanti kemaleman, kasian Tante capek," ucap Bram. Setelah berpamitan, Bram pergi bersama Talia.

"Yuk, pulang," ucap Athalla, lalu merangkul pundak kakaknya.

--

Athalla tidur seperti orang mati.

Mungkin karena kelelahan, ia sulit sekali dibangunkan, padahal jam sudah menunjukan pukul sembilan dan Athalla minta untuk dibangunkan pukul delapan agar ia bisa sampai di rumah sakit tepat pukul sembilan.

"Tha, laillahailallah, tidur apa mati sih?" gumam Dinda frustasi. Ia sudah berusaha membangunkan Athalla sejak entah kapan.

Dinda keluar dari kamar Athalla, lalu berjalan ke halaman rumahnya untuk mengambil semprotan bunga.

Ia kembali ke kamar Athalla, lalu dengan wajah polos ia menyemproti wajah Athalla dengan semprotan bunga itu.

"ANJENG!" teriak Athalla saat wajahnya sudah basah total.

"Atha, gak boleh ngomong kasar," tegur Dinda kalem.

"Dasar anak setan."

"MAMA! KATA ATHA MAMA MIRIP SETAN!"

Athalla mengusap wajahnya yang basah melihat kelakukan kakaknya yang terkadang mirip orang utan. Ia meringis ketika seluruh wajahnya berdenyut perih.

"Berisik banget sih, masih pagi jangan teriak-teriak," gumam Athalla sambil duduk di kasurnya. Ia mengambil kaus yang tergeletak di lantai, lalu memakainya.

"Pagi pala lu, liat tuh jam berapa. Katanya mau jengukin Nata." Mendengar desisan Dinda, Athalla buru-buru menyambar ponselnya untuk melihat jam.

"KENAPA GAK BANGUNIN ATHA!"

"Bodo amat ah dasar lutung."



"Holaaaa," sapa Athalla ceria saat memasuki ruang rawat inap Nata. Yang disapa sedang menikmati sepotong semangka sambil nonton TV.

"Cot."

"Galak amat."

"Hai, Kak Dinda," sapa Nata.

"BUSET kacangin aja gue Nat, dah biasa," sindir Athalla gemas.

"Apa si lo mau banget diajak ngomong apa."

"Udah ah, berisik," lerai Dinda gemas.

"Apa kabar, Nat?" tanya Dinda lagi.

"Ya gitu deh. Remuk badan Nata," jawab Nata santai.

"Ooh. Udah makan nasi?" sambar Athalla.

"Udah. Makanannya gak enak banget, parah. Beliin nasi padang dong," pinta Nata.

"Sembarangan."

----------

24 September 2015.

MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang