"Abang! Buka pintunya ih!" teriak Nata saat mendengar ketukan di pintu rumahnya.
"Nat, apaansi! Lo lebih deket astagfirullah gue lagi di kamar mandi!" balas Wira.
"Alibi!" teriak Nata lagi, namun tetap berdiri, berjalan ke pintu depan.
"Selamat malam, mau cari si--" pintu kayu tersebut langsung Nata banting ketika ia melihat laki-laki di terasnya.
"Nat, Nata, please, gue mau ngomong penting banget."
"Nata gak ada."
"Ya udah, sama Wira aja."
"Wira juga gak ada."
"Sama yang ada aja deh."
"Gak ada siapa-siapa. Pulang lo sono. Biji." Nata menghentakkan kakinya ke lantai, berharap Athalla akan berpikir bahwa Nata sudah tidak berdiri di balik pintu.
"Gue tau lo masih di balik pintu, Nat."
Nata menghela napas kasar, lalu melarikan jari-jarinya ke rambut panjangnya yang terurai. Ia memasang wajahnya yang menurutnya paling menyebalkan, lalu membuka pintu rumahnya.
Tanpa ia duga, Athalla langsung memeluknya erat, menyebabkan Nata mundur beberapa langkah.
Ia ingin melepaskan pelukan Athalla, namun sudah terlalu lama Athalla tidak memeluknya. Hampir tiga bulan. Dan pelukan Athalla terasa sangat nyaman sekarang.
Nata berusaha mengendalikan detak jantungnya, takut Athalla bisa merasakannya.
"Thal." Nata menyentuh lengan Athalla, mendorongnya sedikit.
Athalla menatap Nata dengan tatapan penuh harapan, berharap Nata akan memberikan kesempatan kepada Athalla untuk meminta maaf.
"Keluar."
Seperti disambar petir, Athalla hanya terbengong berdiri di depan Nata, sama sekali tidak menyangka jawaban itu akan keluar dari bibir Nata.
"T-tapi Nat, gu--"
"Keluar sebelum gue panggil Abang," ucap Nata tegas. Suaranya dingin, matanya tidak menunjukkan ekspresi.
Athalla lalu berbalik, berjalan keluar dari kediaman Nata dengan kepala menunduk.
--
Aku kaget ketika Athalla langsung memelukku. Aku merasakan geli-geli aneh di perutku. Kalau di fan fiction, kupu-kupu.
Jantungku berdebar keras. Tapi aku masih belum siap untuk memaafkan Athalla. Aku bahkan belum siap untuk menatap matanya.
"Keluar."
Dengan satu kata itu, aku bisa melihat bahwa aku sudah meruntuhkan semua harapan Athalla. Terlihat jelas dari kekecewaan di matanya.
"Keluar sebelum gue panggil abang." Athalla seharusnya tau bahwa aku tidak akan memanggil Wira. Wira kakakku, aku tau persis apa yang akan ia lakukan jika ia melihat Athalla. Aku tau ia menghajar Athalla sekitar sebulan yang lalu.
Aku harap Athalla tidak melihat keruntuhan yang terjadi di dalam diriku. Aku berusaha menyembunyikannya. Aku tidak mau terlihat lemah.
Athalla jarang membuat kesalahan. Kami jarang bertengkar. Beberapa kali kami pasti bertengkar, tapi beberapa jam kemudian kami sudah akur seperti tidak ada yang terjadi.
Belum pernah sampai tiga bulan seperti ini.
Dengan tatapan penuh kekecewaan, ia berbalik badan lalu keluar meninggalkan rumahku. Aku setengah bersyukur namun setengah menyesal. Aku berharap Athalla akan berusaha sedikit lebih keras, dan mungkin saja aku akan memaafkannya. Namun dia tidak berusaha. Ya sudah.
Aku menutup pintu rumahku, lalu kembali ke kegiatanku yang tertunda.
"Nat? Siapa tadi?" Wira menghampiriku dengan handuk di sekitar lehernya, rambutnya basah.
"Orang salah alamat," jawabku cuek. Aku harap Wira tidak sadar bahwa aku berbohong. Aku tidak pernah berhasil bohong ke makhluk yang satu itu.
"Oh." Segampang itu? Wira langsung percaya? Aku semakin jago bohong.
"Gue tau lo boong." Ternyata aku masih payah.
"Cek aja sendiri sana, liat rumah sebelah orangnya di situ kali." Aku tidak mengalihkan pandanganku dari TV, namun berharap semoga Athalla langsung pulang dan tidak duduk di teras seperti orang tolol.
Wira berdiri, berjalan keluar rumah. "Tuh kan, ada manusia noh di teras. Lo masih gak bisa boongin gue, Nat," teriak Wira.
Aku mengerang kesal, kenapa Athalla harus duduk di teras rumah? Kenapa dia bodoh sekali?
Aku menyusul Wira ke teras, melihat Athalla duduk di teras rumahku dengan senyum yang jelas sangat dipaksakan.
Wira menepuk kepalaku pelan, lalu berjalan masuk ke rumah. Apa maksudnya? Kenapa ia meninggalkanku? Ia harusnya menghajar Athalla sekarang.
Dunia sepertinya sedang tidak berpihak kepadaku saat ini.
"Nat, dengerin gue dulu!" teriak Athalla tiba-tiba saat aku hendak menutup pintu, membuatku membeku di tempat karena aku jelas tidak mengira Athalla akan teriak.
"Dua menit, sumpah. Gue putus sama Yarra, ternyata emang dia gunain gue doang. Dan gue terlalu bodoh buat sadar, gue mau aja jadi kacungnya dia. Dan gue minta maaf banget tentang Ares waktu itu. Gue tau lo inget semuanya. Gue minta maaf. Banget. Gue sama ancurnya kaya Wira, Aryssa, bahkan nyokap lo, pas liat lo babak belur di rumah kumuh itu. Lo gak paham seancur apa gue pas gue gendong lo keluar dari rumah itu, lo pingsan. Gue ancur banget, Nat. Dan gue yakin lo tau kalo gue gak akan pernah, kapan pun, bermaksud buat ngingetin itu ke lo," jelas Athalla cepat. Aku masih bengong, berusaha mencerna apa yang baru saja Athalla katakan.
Sejujurnya, aku sudah memaafkannya. Dia sahabatku sejak entah kapan, aku pasti memaafkannya. Aku hanya belum siap untuk memaafkannya secara 'fisik'.
Tapi, aku hanya menangkap saat ia bilang "gue putus sama Yarra".
---------
20 Oktober 2015.
WEEEH pertama kalinya pake POVnya Nata. Ehehehe.
Besok UTS pkn dan mtk yaallah otakku jebol bye.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mine
Teen FictionYou were mine for a split second, and I couldn't be more grateful for that. copyright © 2015 by ashpirin, All Rights Reserved.