Sepanjang tes, ponsel Athalla terus-terusan bergetar di kantungnya. Ia menyesal ia tidak menuruti kata pengawas ujian untuk mematikan ponselnya saja, atau menyimpannya di tas. Ia menjadi kurang fokus.
Namun, setelah beberapa kali ponselnya bergetar, akhirnya berhenti. Athalla terus bergerak-gerak gelisah di tempatnya duduk, entah mengapa. Ia yakin tes membuatnya gugup.
Tes yang dilaksanakan selama tiga jam nonstop itu akhirnya berhenti. Athalla merasa otaknya akan meledak setelah mengerjakan tes berjumlah 80 soal itu.
Ia mengambil tasnya di depan ruangan, lalu mengambil ponselnya dari kantung. Ada delapan panggilan tidak terjawab hari ini, dua dari Adi, dua dari Ari, dan empat dari Aryssa. Sementara ada 24 panggilan tidak terjawab kemarin malam. Serta entah berapa belas pesan dari ketiganya. Athalla memang mematikan ponselnya setelah ia terakhir menghubungi Adi, dan baru menyalakannya sebelum ujian. Ia hanya menyalakannya, tidak ada waktu untuk mengecek.
Ia berusaha menghubungi Adi kembali, namun tidak diangkat. Begitu pula Ari dan Aryssa. Bahkan Dinda tidak mengangkat teleponnya.
Apaansi nelfon berpuluh-puluh kali, sekarang gue telfon balik gak ada yang ngangkat.
Athalla memutuskan untuk mengabaikannya, lalu kembali ke rumah saudaranya untuk mengepak barang-barangnya, bersiap untuk kembali ke Jakarta. Ia sangat semangat, namun gugup dalam waktu yang bersamaan. Ia semangat karena ia akan menghabiskan banyak waktu dengan Nata, namun gugup karena ia harus meminta maaf kepada Nata. Bagaimana jika gadis itu tidak memaafkannya?
Setelah mengepak barangnya, ia segera berangkat ke stasiun kereta Bandung. Dinda dan kedua orang tuanya sudah pulang duluan tadi pagi. Setelah duduk manis di kereta, Athalla memasang earphone-nya, lalu tertidur sepanjang perjalanan.
Beberapa kali kereta yang ia tumpangi berhenti dan waktu tersebut ia gunakan untuk meregangkan kakinya sambil merokok. Masih tidak ada yang meneleponnya, ponselnya sepi sejak ia naik kereta.
Perjalanannya berhenti setelah ia sampai di stasiun Gambir. Ia mencegat taksi dan memulai perjalanannya ke rumahnya. Semakin lama, taksi yang Athalla tumpangi semakin menjauh dari stasiun, semakin mendekat kerumahnya, dan ia menjadi semakin gugup. Ia bergerak-gerak di tempatnya duduk, sampai supir taksi menyadari kegelisahannya.
"Ada apa, Mas?" tanya supir taksi itu sopan.
"Hm? Nggak, Pak," jawab Athalla singkat, lalu supir taksi itu tidak bertanya lagi.
Akhirnya, setelah perjalanan yang terasa sangat lama, supir taksi itu menepi tepat di depan rumah Athalla. Ia membayar, mengucapkan terima kasih, lalu keluar. Di garasi terdapat mobil keluarganya, namun tidak ada mobil Dinda.
"Assalamualaikum," ucap Athalla ketika ia masuk rumah. Orang tuanya dan orang tua Nata berada di ruang tamu, dengan mata merah dan pipi basah.
"Eh, ada apa nih, pada kumpul?" tanya Athalla, masih tidak menyadari suasana yang tegang.
"Pada di kamar aku ya? Ya udah, aku langsung ke kamar ya." Athalla beranjak pergi ke kamarnya.
Langkahnya terhenti ketika suara ibunya yang bergetar memanggil namanya.
"Atha, sini dulu sayang." Ibunya menepuk tempat duduk di sebelahnya, mengajak Athalla duduk.
"Mama mau kamu tenang dulu ya." Athalla yakin sesuatu yang buruk telah terjadi. Ia merasakan bibirnya mulai kering dan jantungnya berdegup lebih cepat.
"Kenapa?"
"Kemarin pagi, Nata kecelakaan mo--"
"Ya Tuhan, Ma, jangan bercanda. Gak lucu." Athalla tertawa garing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mine
Teen FictionYou were mine for a split second, and I couldn't be more grateful for that. copyright © 2015 by ashpirin, All Rights Reserved.