Pertandingan semifinal dan final kejuaraan tennis dilaksanakan pada hari yang sama ternyata. Cukup mengagetkan juga. Bisa ditebak alasannya, mungkin karena semenjak runner up tahun lalu yang meraih banyak fans gugur di babak pertama, penonton semakin berkurang. Apalagi dua calon juara yang kuat juga gugur di babak kedua, itu pasti makin membuat penonton berkurang.
Tamon dan Gino sih nggak masalah pertandingan final dan semifinal dilaksanakan langsung berturut-turut. Itu artinya mereka bisa bertanding lebih cepat. Itu kalau mereka menang babak semifinal tentunya.
Lawan mereka keliahatannya nggak terlalu kuat, but don't judge a book by its cover. Shanny nggak percaya kalo mereka lemah, kalo lemah nggak mungkin masuk semifinal, kan? Tamon dan Gino nyantai aja sih begitu lihat lawannya. Shanny tahu mereka berdua ngeremehin lawannya.
"Gi, Mon, kalian kok kayaknya ngeremehin lawan kalian gitu sih?" tegur Shanny.
Tamon memperhatikan lawannya dari atas sampai bawah. "Badan kerempeng kayak gitu, Sha. Aku nggak ngeremehin. Tapi, memang mereka kerempeng, kan? Nggak berotot!" seru Tamon. Terlalu keras, sampai lawannya dengar dan menatap cowok itu tajam-tajam, penuh kebencian.
"Aduuh, Mon. Kalo ngomong pelan dikit bisa nggak sih? Lawanmu denger tuh! Aduuh... Gimana nih?" Shanny jadi bingung sendiri.
"Tenang aja deh. Memangnya kalo mereka denger mereka mau apa?"
"Tamon!" bentak Shanny. "Kamu jangan kayak gitu dong! Kenapa harus ngejudge mereka dari penampilannya?" tanya Shanny.
"Lalu harus ngejudge dari apanya?" Tamon balik bertanya.
Shanny langsung emosi. Cowok di depannya itu memang menyebalkan. "Kamu tuh memang nggak punya hati ya! Mereka tuh denger apa yang kamu katakan! Mikir dikit bisa nggak sih? Memangnya mereka nggak punya hati kayak kamu? Sakit tau nggak digituin!" bentak Shanny emosi.
Setelah mengungkapkan semua itu, dia langsung meninggalkan lapangan tennis. Shanny emosi banget, ternyata Tamon nggak punya perasaan. Dia hanya menilai orang dari penampilannya. Pasti Tamon juga menilai cewek dari penampilannya. Entah kenapa, menduga hal itu saja, sudah membuat Shanny emosi. Dia bingung. Rasanya dia marah sekali.
"Mon, kamu mau ke mana?" tanya Livi begitu melihat Tamon mau mengejar Shanny.
"Ngejar dia," jawab Tamon.
"Bukankah sebentar lagi pertandingan dimulai?"
"Shanny?"
Suara serak-serak basah itu. Suara itu bukan yang ingin Shanny dengar sekarang. Shanny menghapus air matanya dan menoleh ke sang pemilik suara. Dia mencoba tersenyum.
Cowok itu duduk di sebelahnya. "Kamu nggak papa, kan?" tanyanya.
Shanny menggeleng. "Nggak papa, kok," jawabnya.
"Kamu habis nangis ya?" tebak cowok itu.
Shanny langsung mengucek-ngucek matanya. "Nggak kok, Gi. Jangan asal deh! Cuma kemasukan debu aja," elak Shanny.
"Alasan kuno, Sha."
Shanny tertawa kecil dalam hati. Iya ya, dia terlalu ling lung buat mikir. "Huh... Percuma juga aku bohong. Kamu juga nggak akan percaya, kan?"
Gino menggeleng. "Aku bisa membedakan antara kamu yang berbohong dan kamu yang jujur," ujar Gino.
"Gombal ah!"
"Kamu bukannya suka digombalin ya?" goda Gino.
Shanny mendorong Gino. "Sialan! Sapa juga yang suka?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Cry Baby In Love
Teen FictionShanny berpikir pindah di sekolah baru, dia bisa memulai hidup baru yang damai. Sayangnya, ada Tamon, cowok yang selalu mengerjai Shanny. Di mana mereka bertemu, di sana juga ada percekcokan. Saking jahatnya, Tamon sering membuat Shanny menangis! Ar...