Part 23

48 3 0
                                    


Livi memandangi handphonenya yang terus-terusan bergetar. Cewek itu hanya bisa memandangi, dia nggak punya keberanian untuk mengangkatnya. Layar itu menunjukkan tulisan, 'Tamon is calling'.

Dada cewek itu terasa sakit, ada rasa takut, cemburu, kesal, dan sedih. Semuanya tercampur menjadi satu. Livi benci itu. Livi merasa dirinya lah makhluk terbusuk di bumi ini, dia begitu jahat. Bisa-bisanya dia menghalangi Shanny, sahabatnya sendiri bertemu dengan Tamon. Apa haknya?

Livi menarik nafas dalam-dalam. Kalau dia terus menghindar, dia akan merasa lebih bersalah dan terbebani. Livi menghabus tetesan air hangat yang entah sejak kapan telah membasahi wajahnya.

"Halo?"

"Livi? Kamu dari mana? Kenapa baru sekarang jawab telponku sih?"

Livi memegang dada kirinya, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar-debar. Dia menarik nafas dalam-dalam.

"Kenapa, Mon? Kangen ya sama aku?"

"Vi, jangan bercanda deh. Aku lagi pengen ngomong serius sama kamu."

"Ngomong apa sih? Serius amat? Kalo mau ngomong ya ngomong aja lah. Memangnya aku orang asing ya?"

Tamon tertawa kecil. "Ok. To the point aja ya, Vi. Tadi kamu udah ngasih tahu Shanny, kan?"

Livi tercekat, jantungnya berdetak lebih kencang. Dia harus bilang apa? Adakah alasan yang pas untuk menutupi kesalahannya? Lupa? Apakah itu alasan terbaik yang Livi punya? Well, she have no choice.

"Oops... Mon! Sorry, sorry, aku lupa..."

"Livi! Kamu kenapa sih? Tumben-tumbennya kamu lupa. Bayangin deh, Vi. Aku udah nungguin Shanny 2 jam! Du-a jam, Li-vi! Kau pikir 2 jam itu cepet ya? Aku udah nungguin dia sampai kering tau nggak!"

"Hey! Nggak perlu marah-marah, kan? Aku lupa, sorry. Aku udah bilang 'sorry', kan? Kenapa kamu masih marah-marah?"

"Livi, kamu lupa itu bisa jadi keajaiban dunia yang ke 8. Lebih baik kamu jujur, Vi."

"Aku benar-benar lupa. Dan aku udah minta maaf, kan? Apa perlu kamu melebih-lebihkan seperti itu? Maklum lah kalau aku lupa. Aku bukan manusia sempurna, Mon."

"Ok, ok. Sorry, Vi. Aku nggak bermaksud. Aku cuma... apa ya? Heran... Seorang Livi bisa lupa, mungkin itu benar-benar keajaiban dunia ya?"

"Tamon! Kau keterlaluan! Kau menuduhku sengaja tidak menyampaikannya ke Shanny karena aku menyukaimu dan tidak menginginkan kalian bersatu? Tamon Rayharidwan, kau terlalu memandang rendah aku. Aku nggak serendah itu!"

"Livi? Aku nggak pernah mengatakan apa pun, kan? Aku tidak pernah menuduhmu menyukaiku dan mengkhianati aku. Kalau kamu bisa berasumsi seperti itu, jangan salahkan aku kalau aku memandangmu seperti itu."

Livi tercengang. Seketika itu juga tenggorokannya terasa kering. Kenapa bisa-bisanya dia membuat Tamon mencurigainya? Kenapa bisa-bisanya dia mengatakan dirinya rendah? Ya, dia memang rendah. Dia sadar dengan jelas kalau dia memang rendah.

"Tamon... maafin aku... aku benar-benar nggak pantas disebut sahabat, teman aja nggak pantas..."

"Livi? Kamu nangis?"

Livi menyeka air matanya. "Nggak... aku hanya... aku benar-benar menyesal, Tamon..."

"Livi..."

"Aku memang rendah ya?" Livi tertawa getir.

"Livi, jangan bilang gitu dong."

"Itu kenyataannya, Mon... Aku manusia rendahan, nggak punya harga diri, nggak punya rasa solider, nggak punya perasaan, jahat, egois... Aku benar-benar rendah ya?"

Cry Baby In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang