Part 19

449 13 1
                                    

"Semuanya, kita makan-makan yuk sekarang!" ajak Verin.

"Makan-makan?" tanya Gino.

"Iya. Ngerayain kemenangan kalian," jawab Verin.

"Good idea, Rin," sahut Tamon.

"Oke. Let's go!" kata Verin ceria.

Gino, Tamon, dan Shanny nurut-nurut saja. Mereka terpisah jadi dua grup, Gino dan Verin naik mobil Gino, Tamon dan Shanny naik mobil Tamon. Mereka sepakat akan makan di kafe Chocolate. Langganan Verin. Kafe itu cukup terkenal, makanannya enak, minumannya enak, tempatnya nyaman banget, dan tentunya harganya sebanding alias mahal.

"Gimana tadi permainan aku?" tanya Tamon memulai pembicaraan.

"Biasa aja," jawab Shanny judes.

Tamon menghela nafasnya. "Kamu kenapa sih? Daritadi jutek mulu kerjaannya. Kenapa? Si Gino cari masalah lagi?"

"Nggak kok."

"Trus, kenapa? Daritadi diem mulu, kalo nggak diajak ngomong ya nggak ngomong. Padahal kamu yang biasanya kan nggak mungkin diem. Kalo diajak ngomong jawabannya singkat padat, jelas, and juteknya minta ampun. Sebenernya kamu kenapa? Sakit?"

"Aku memang dari dulu udah kayak gini kok. Jangan sok tahu deh!"

"Tuh kan, judes lagi. Kamu kenapa? Kok nadanya nada jealous ya?" tebak Tamon.

Tepat pada sasaran! Ya, Shanny langsung sadar. Dia ternyata jealous ma Verin! Perasaan sebalnya tadi itu karena jealous. Waduuh... That's mean Shanny suka ma Tamon dong? Arghh... tapi itu nggak mungkin, Shanny menepis pikiran itu dengan cepat. Nggak mungkin dong dia suka ma Tamon, secara Tamon itu musuhnya, suka ngerjain dia, nyebelinnya minta ampun. Mungkin dia cuma sebel gara-gara dia dikacangin. But, nothing is impossible, kan?

"Ngasal aja kamu. Jealous ma sapa?" tanya Shanny.

Tamon senyam-senyum. "Ya sama aku lah. Gara-gara tadi aku deket ma Verin, kan?" tebak Tamon pede.

"Pede banget sih lo! Jangan ge-er deh! Najis deh! Najis tauk nggak!" bantah Shanny langsung bertubi-tubi.

Senyum Tamon bertambah lebar. "Ngaku aja deh. Ngelaknya sampai segitunya, so that's mean iya, kan?"

"Nggak! Dan nggak akan! Jangan ngimpi deh!"

"Ngaku aja deh, Sha. Kamu suka sama Tamon, kan?"

Mata Shanny langsung melotot. Ya ampun! Kok bisa sih Livi berpikiran seperti itu? "Hah? Nggak mungkin! Dan nggak akan!" tolak Shanny langsung.

Livi tersenyum masam. "Dari ceritamu, aku tahu kalo kamu suka Tamon. Kamu nggak bisa bohongin aku, Sha," katanya lirih.

Shanny nggak nyadar udah bikin Livi nggak enak hati. Dia menganggap Livi menggodanya, jadi dia cuek-cuek aja. "Aduh, Vi. Ngapain juga bohongin kamu? Aku nggak suka Tamon. Dan nggak akan pernah suka Tamon! Titik! Bukannya aku udah pernah bilang ya? Aku nggak akan pernah suka sama yang namanya Tamon selama mataku masih normal."

"Baguslah kalo itu benar," kata Livi pelan sekali.

Shanny nggak mendengar kata-kata Livi itu. "Apa, Vi? Kamu ngomong apa barusan?"

Livi tersenyum jahil, menutupi sakit hatinya. "Nggak ada siaran ulang ya!"

Mendengar itu, Shanny jadi lebih penasaran. "Apa dong? Ada siaran ulang lah!" pintanya.

"Sorry, tapi nggak ada siaran ulang ya."

"Iih... Pelit deh," gerutu Shanny.

"Vi, besok Minggu nggak bisa lagi ya?" tanya Tamon.

Livi terdiam. Dia ada les besok Minggu, tapi kalo terus dibiarkannya begini, Tamon dan Shanny akan semakin dekat. Udah dua kali dia nggak datang, apalagi ini semifinal. Masa dia harus nggak datang lagi? "Bisa kok," jawab Livi.

Tamon langsung ceria. "Serius, Vi?"

Livi tersenyum manis. Dia senang Tamon ingin dia datang. "Serius lah. Masa kamu semifinal aku nggak datang? Pasti seru kan?"

"Seru banget. Kemarin kamu nggak lihat sih. Aku mainnya keren lho kemarin. Harusnya kamu lihat," ujar Tamon.

"Iya, Vi. Dia mainnya keren! Nggak nyangka wong ndeso bisa juga main tennis," seru Shanny.

Senyum Livi langsung menghilang. Lagi-lagi saat dia bicara berdua dengan Tamon, Shanny ikut-ikutan. Bikin Livi jengkel aja. "Aku pasti datang kok, Mon. Tenang aja," ujar Livi, nggak menggubris Shanny.

"Halah. Kamu tuh iri aja. Mentang-mentang aku bisa main dan kamu nggak, kamu iri, kan? Dasar tukang iri!" Tamon menyahuti Shanny, tanpa menggubris Livi.

"Iih... Iri sama kamu?" Shanny menaikkan nada bicaranya. Lalu, dia berpura-pura muntah-muntah. "Hoeek... Hoeek... Amit-amit. Muntah ni lho!"

Tamon memberantakin rambut Shanny. "Hamil anakku ya, Sha? Sorry lho, kalo kamu kayak gini, aku nggak mau tanggung jawab," gurau Tamon dengan suaranya yang keras.Kontan seluruh kelas riuh. Suit... Suit... Semuanya menggoda mereka. Pasti mereka semua berpikir yang enggak-enggak.

"Iih... Najis deh! Never ever in my life!" balas Shanny.

"Sha, nasi udah menjadi bubur. Udah terlanjur, kan? Mau gimana lagi?"

Mulut Shanny langsung mbuka selebar-lebarnya. Candaan Tamon hebat banget. Parah! Shanny dan Tamon memang cuma bercanda, tapi mereka nggak menyadari ada dua pasang mata yang menatap mereka dengan pandangan yang berkilat-kilat. Menusuk. Dan lama-kelamaan akan menghancurkan hubungan mereka. 


Cry Baby In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang