Part 21

51 3 0
                                    


Livi termenung. Shanny? Yang diingat Tamon adalah Shanny. Entah kenapa hati Livi sakit banget. Padahal yang nolongin Tamon pertama kali kan Livi. Shanny cuma diam aja, tanpa inisiatif nolongin Tamon. Kenapa Tamon manggil Livi 'Shanny'?

"Vi, aku pulang ya," ijin Shanny.

Livi tersenyum. Dia nggak bisa menunjukkan kemarahannya pada Shanny. Itu bukan salah Shanny. "Ya," jawabnya.

Shanny memandangi Tamon yang terbaring di kasur rumah sakit Torsaka. Cowok itu tampak letih banget. Gara-gara kecapekan main pastinya. "Kalo ada kabar tentang Tamon kabarin aku, ya."

"Tenang aja pasti kukabarin!" jawab Livi.

Shanny pun meninggalkan kamar itu. Begitu Shanny pergi, Livi merenungi semuanya. Shanny menyukai Gino, bukan Tamon. Tamon menyukai Shanny, bukan Livi. Dan dia sendiri? Mungkin Livi suka sama Tamon. Livi bingung, sebaiknya dia gimana? Ngebantuin Tamon buat ngedapetin Shanny? Atau dia harus mengejar cinta Tamon? So, Livi, friendship or love, which one is more important?

Tamon membuka matanya perlahan. Semuanya serba putih. Dia mengingat-ingat kejadian terakhir sebelum dia pingsan, dia masih ada di lapangan tennis, berusaha mengembalikan bola yang malah melesat ke mukanya. Dia berusaha menghindar, tapi usahanya gagal total. Dan tiba-tiba pandangannya kabur.

Tamon langsung berusaha berdiri. Tapi selang infus, menghalanginya. Dilihatnya sosok cewek yang disukainya di depannya sedang tertidur.

"Livi?"

Mendengar suara Tamon, Livi terbangun. Dia membuak matanya perlahan. Melihat sosok Tamon yang udah sadarkan diri, Livi tersenyum. "Tamon? Kamu udah sadar?"

Tamon tertawa kecil. "Seperti yang kamu lihat. Kok aku bisa di sini, Vi? Ini di mana? Kok aku bisa ada di sini?"

Livi mengucek-ngucek matanya, dia masih ngantuk. "Di rumah sakit. Kemarin kamu pingsan di lapangan tennis," jawab Livi.

"Pertandingannya gimana?"

"Kamu kalah."

Tamon tersenyum kecut. Kekecewaan jelas terpampang di wajahnya. "Lalu, Gino?"

"Dia menang, juara satu," jawab Livi.

Tamon menghela nafasnya, dia nggak mau kalah sama Gino. Tapi apa daya, semua sudah terjadi.

"Sayang sekali lho, Mon. Kalo aja kamu nggak pingsan, aku yakin kamu bisa jadi juara 1." Livi mencoba menghibur Tamon.

"Belum tentu, Gino itu lawan yang tangguh. Sulit banget ngalahin dia."

"Memang sih. Gino memang hebat. Tapi, paling nggak kan kamu bisa juara 2, kan?"

"Iya."

Melihat wajah frustasi Tamon, Livi jadi menyesali perkataannya. "Udah lah, Mon. Nggak usah dibahas lagi, ya?"

"Iya. By the way, kamu ngapain di sini? Nungguin aku sadar?" tanya Tamon sambil senyam-senyum.

"Iya. Keadaanmu bikin khawatir sih," jawab Livi polos.

Tamon tersenyum sambil terus menatap mata Livi, buat Livi jadi salting. Harusnya dia senang Livi mendampinginya, tapi entah kenapa semuanya hanya terasa biasa-biasa aja. Malah, Tamon menginginkan Shanny yang menungguinya. Aneh, sangat aneh. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Apa gara-gara pingsan dia jadi aneh?

"Makasih ya, Vi. Kamu baik banget," kata Tamon, membuat Livi tersenyum senang. Shanny nggak nungguin aku?"

Senyum Livi langsung menghilang. "Nggak. Tapi dia titip salam, dan dia juga nyuruh ngasih dia kabar kalo kamu udah sadar."

Cry Baby In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang