Part Twelve

1.3K 24 0
                                        

“Aku benci dia!” jerit Shanny.

“Cowok kayak gitu memang harus dibasmi, Sha!” tambah Livi.

“Dasar cowok kurang ajar! Sampah masyarakat!” maki Shanny.

“Betul, betul!”

Shanny memeluk Livi, dia terisak lagi. “Vi, dia jahat banget...”

Livi mengelus-elus kepala Shanny. “Iya. Aku tahu kok, Sha. Dia harus diberi ganjaran yang setimpal.”

“Tapi gimana caranya? Gimana aku bisa balas dendam ke dia?”

“Sebenarnya aku ada ide... Tapi...”

Shanny tersentak. “Ide apa?”

“Tapi aku nggak yakin ide ini bisa kamu laksanakan. Soalnya, biar bagaimana pun cara ini mustahil dilakukan olehmu,” ujar Livi. “Ini terlalu gila.”

Shanny makin penasaran dengan ide Livi. “Mustahil? Gila? Apa sih?”

Livi membisiki idenya. Shanny terbengong. Benar kata Livi, ide itu gila! Gila sekali! Tapi, demi balas dendam, apa sih yang nggak bisa dilakukan? Bukankah balas dendam itu indah?

Shanny, Livi, dan Tamon berada dalam satu kafe, kafe Chocolate. Semua ini demi pembalasan dendam. Ide Livi cukup hebat, juga sangat mengagetkan.

“Mon, please help me,” pinta Shanny.

Tamon mengangkat alisnya. “Bantu apa?”

“Vi, kamu yang ngomong ya,” pinta Shanny.

Livi menghela nafasnya. “Mon, kamu tahu sendiri apa yang dilakukan Gino. Dia kurang ajar banget! Setuju nggak?” tanya Livi.

Tamon sedikit kebingungan. “Ya memang. Meskipun dia temanku, dia memang keterlaluan sama Shanny. Tapi, urusannya sama aku apa?”

“Nah itu dia, Mon! Dia kan marah sama Shanny gara-gara kamu. Jadi, we need your help,” ujar Livi.

“Bantuan apa?”

Livi melirik Shanny. Shanny mengangguk. “Umm... Si Shanny mau ngebales dendam ke Gino. Gino kan balikan lagi sama Verin. So, Shanny mau manas-manasin Gino.”

“Trus hubungannya sama aku?”

Livi dan Shanny melirik Tamon dengan tatapan memelas, puppy eyes mereka. “Kamu jadian sama Shanny ya,” pinta Livi.

Mata Tamon langsung terbuka lebar, kalau dalam komik-komik bola matanya sudah copot dari tempatnya. Mulutnya terbuka lebar, matanya terbuka lebar, Tamon syok. “Apa kamu bilang?” Dia berharap dia salah dengar.

“Kamu jadian sama Shanny,” ulang Livi agak keras, membuat Shanny malu banget dan Tamon lebih terbelalak, karena dia tahu, kali ini dia nggak mungkin salah denger.

Shanny menyikut Livi. Suara Livi barusan cukup keras, sehingga mau nggak mau dia ikut malu. Meski nggak ada yang tahu kalau dialah ‘Shanny’ yang dimaksud, tetap saja Shanny malu.

Tamon syok berat! Livi, cewek yang ditaksirnya meminta dia jadian sama musuhnya. Tamon berharap dia salah dengar, tapi ternyata enggak. “Apa maksudmu, Vi?”

“Gini lo. Jadi, kamu dan Shanny jadian. Bikin si Gino jealous. Panas-panasin dia! Cabik-cabik hatinya! Hancurin dia!” ujar Livi semangat.

“Hah?”

Livi menyeruput es coklatnya. “Dia kan udah ngancurin Shanny. Makanya, kita harus balas dendam! Pembalasan dendam itu indah. So, kamu dan Shanny panas-panasin dia. Balas dendam!” seru Livi.

“Tapi, jadiannya pura-pura, kan?” tanya Tamon.

Shanny mengangkat alisnya, menatap Tamon sinis. “Ya iya lah! Mana mau aku jadian beneran sama kamu!” jawabnya sewot.

“Siapa juga yang mau jadian beneran sama kamu?”

Shanny mencibir. “Huh! Makanya, jangan ngira beneran. Soalnya, amit-amit deh, aku sama kamu!”

Tamon tersenyum sinis. “Aku tanya dulu, karena aku tahu sebenarnya kamu tuh ada rasa sama aku,” jawabnya pede.

“Pede banget sih kamu! Najis tau! Najis! Jijay bajay kali! Mau muntah nih,” bantah Shanny sambil pura-pura mau muntah.

Tamon tertawa kecil, Shanny yang memperhatikan tawa cowok itu tersenyum kecil. “Sebenarnya, aku nggak mau ngebantu. Tapi, entah kenapa, kayaknya seru banget,” ujar Tamon.

Livi ikut tersenyum. “So?”

“Let’s do the revenge!” kata Tamon bersemangat.

“Vi, aku nggak mau!” tolak Tamon.

Livi menatap cowok itu tajam dengan mata bulatnya. “Nggak ada kata mundur, Mon! Itu udah kesepakatannya! So, let’s do the revenge!” Livi mengulangi kata-kata Tamon, menyindir cowok itu.

Tamon menatap Livi dalam-dalam, meminta ampun. Livi membalas tatapan itu dengan senyum manis. So, that means...

“Vi, please. Aku mohon. Aku nggak mau!” pinta Tamon, benar-benar memelas.

“Cowok apa cewek kamu?”

“Cewek,” jawab Tamon keki.

Livi mencubit tangan cowok itu. “Mon, ayo dong! Disuruh berakting aja susah banget! Akting, Mon! Akting! Siapa tahu kamu malah bisa jadi artis!”

“Sorry, tapi aike ga minat.” Tamon mulai bergaya banci.

Melihat hal itu, Livi langsung terkekeh-kekeh. “Najis banget sih kamu!”

“Aike kan cewek.” Gaya banci Tamon makin menjadi-jadi dengan tangannya yang bergerak-gerak seperti banci.

Livi terus tertawa, tapi lama-kelamaan tawanya reda. “Mon, serius dong!” pintanya.

Tamon menghentikan gaya bancinya. “Aku nggak bisa kalau harus peluk-peluk Shanny, bicara mesra sama Shanny, manjain dia, atau apa pun itu.”

“Kenapa?”

“Kamu pikir aku nggak punya someone special?” tanya Tamon menatap Livi dalam-dalam, berharap dia tersadar.

Livi terdiam. Tak terpikirkan olehnya kalau Tamon punya someone special juga. Tentunya, kalau Tamon pacaran dengan Shanny meski cuma bohongan, Tamon pasti nggak bisa deketin cewek itu. That means, semua rencananya batal! Gagal total! Raut wajahnya langsung muram, semuram-muramnya. Rencana bikinannya belum saja berjalan, tapi sudah hancur total! Pastilah Tamon punya someone special, so, rencana Livi nggak mungkin dijalankan.

Tamon begitu melihat wajah suram Livi, menjadi sangat kasihan. Tentu saja, karena someone specialnya itu Livi. “Oke deh, Vi,” ujar Tamon. Wajah Livi yang suram langsung ceria lagi. “Puas?” tanya Tamon.

“Puas lah!” jawab Livi ceria.

Shanny yang belum datang sendiri ke tempat perkumpulan para revengers alias rumah Tamon, akhirnya datang juga. Cewek itu masuk ke kamar Tamon dengan keringatnya yang terus bercucuran. Wajahnya super kucel. Rambut panjangnya yang dikuncir kuda, penuh dengan keringat. Livi dengan ceria menyambut kedatangannya, sedangkan Tamon sebaliknya. Kehadiran Shanny bagaikan nightmare.

“So, let’s begin the mission!” kata Livi.

Cry Baby In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang