Verin menatap bingung cewek di depannya itu. Kok berani-beraninya sih cewek itu mendatanginya? Memangnya cewek itu pikir dia siapa? Kenal sama Verin saja nggak, berani sekali datang ke rumahnya. Apa maunya dia?
“Ngapain kamu di sini?” tanya Verin kasar.
Shanny menatap cewek itu lekat-lekat. Ternyata Verin memang cantik. “Aku mau bicara sebentar. Boleh, nggak?”
“Soal apa?”
“Tentang cowok brengsek itu,” jawab Shanny blak-blakan.
Verin menghela nafasnya. Sudah diduganya, pasti tentang Gino. Dia membukakan pintu buat Shanny. “Ya udah. Sana masuk.”
Shanny hanya bisa memandang kagum rumah Verin yang megah. Ternyata cewek itu anak orang kaya! Mungkin lebih tepatnya konglomerat. Rumah itu berdindingkan marmer, lantainya pun dari marmer. Ada banyak patung hiasan di sana. Serta berjibun lukisan. Tentunya bukan lukisan murahan. Sofanya besar sekali, kulit pula. Benar-benar bagus sekali rumah itu.
“Apa yang mau kamu bicarain?” Verin masih tetap kasar.
“Kamu nggak dendam atau marah sama Gino?”
“Dendam? Marah? Untuk apa?” Verin balik bertanya.
“Bukankah Gino sama sekali nggak mau mendengar penjelasan kamu dan seenaknya asal menuduh kamu. Kok bisa sih, kamu dengan mudahnya melupakan semua itu?”
Verin menatap keki Shanny. Seenaknya saja, Shanny mencoba ikut campur masalah percintaannya. “Melupakan? Kamu pikir aku pernah lupa? Aku sayang padanya. Tapi, dia sama sekali nggak percaya aku. Bahkan, mendengarkan penjelasanku saja dia nggak mau.”
“Lalu kenapa kamu mau balikan lagi denganya?”
Verin tersenyum kecil. “Mungkin kamu rasa aku itu aneh atau naif. Tapi, jawabannya simpel. Karena cinta,” jawab Verin.
Shanny tertawa getir, membuat Verin kaget. “Kamu terlalu naif, Verin! Kamu pasti tahu kalau aku mantannya Gino, kan?” Verin mengangguk. “Kamu pikir dia mencintai kamu? Percaya sama kamu saja nggak. Apakah itu cinta? Kalau kamu pikir dia telah berubah setelah putus denganmu. Kamu salah! Dia sama sekali nggak berubah. Dia masih sama seperti Gino yang dulu.Gino yang nggak bisa mempercayai pacarnya. Apa kamu rasa dia pantas ngedapetin cinta kamu?”
Verin terdiam sejenak. Perkataan Shanny memang ada benarnya. “Shanny? Itu kan nama kamu. Aku nggak pernah kenal kamu. Tapi, kenapa kamu peduli denganku dan Gino? Karena, kamu juga cinta pada Gino, kan? Kamu mengatakan semua ini, agar aku memutuskan Gino dan kamu bisa balikan lagi dengannya.”
Shanny menatap Verin geram. “Aku nggak sepicik itu! Aku nggak akan melakukan perbuatan busuk seperti itu untuk mendapatkan Gino. Oke, aku akui. Aku memang mencintai Gino. Tapi, aku nggak akan melakukan perbuatan serendah itu untuk mendapatkan cintanya. Aku bukan cewek murahan, Verin.”
“Lalu apa maksud kamu mengatakan semua ini?”
“Aku hanya ingin menyadarkan kamu. Gino nggak pantas mendapatkan cinta kita. Dia cowok brengsek.”
Verin bertambah geram. “Hei jaga mulutmu ya! Hubunganku dengan Gino, itu urusanku! Aku nggak suka orang luar ikut campur! Lebih baik kau pergi dari rumahku sekarang juga!”
Shanny meninggalkan rumah Verin dengan hati yang hancur. Verin sama sekali nggak mendengarkannya. Mungkin, itu yang dinamakan dibutakan oleh cinta. Verin benar-benar cinta pada Gino, meski cowok itu brengsek banget. Mungkin, kalau Shanny di posisi Verin, Shanny juga akan melakukan hal yang sama. Gila kan? Akal sehat gak bakal jalan kalo lagi jatuh cinta.
Tamon datang menjemput Shanny di waktu yang tepat. Dia turun dari mobilnya dan menghampiri Shanny. “Gimana, Sha?”
Shanny menggelengkan kepalanya. “Percuma.”
“Dia nggak mau mendengarkan kamu?”
“Mau sih, tapi masuk kanan keluar kiri. Cinta itu buta, Mon.”
“Ya udah deh.” Tamon menggandeng tangan Shanny. Membuat Shanny terkaget-kaget setengah mati. Cewek itu terdiam. “Kenapa?” Tamon bertanya. Shanny terdiam, wajahnya memerah. Tamon langsung melepas genggaman tangannya. “Sorry.”
Shanny meraih tangan Tamon. “Nggak papa, kok. Aku lupa. Kita kan berakting kalau kita pacaran.”
Tamon tersenyum. Sebenarnya, dia setengah terpaksa melakukan hal itu. Tamon harus berakting. Dia harus berakting kalau dia adalah pacar benaran Shanny. Itu lah permintaan Livi yang mati-matian ditolaknya. Shanny sendiri nggak tahu, semua itu berdasarkan ide Livi. Karena, kalau Shanny tahu, Shanny nggak akan bisa memperlihatkan raut wajahnya yang merah merona.
Livi terdiam sendirian di kamarnya. Dipandangi handphonenya. Kosong. Nggak ada SMS baru. Kesepian. Ya, kesepian. Itulah yang dirasakannya. Biasanya Tamon selalu meng-SMSnya. Entah itu pertanyaan penting atau tidak. Namun, setelah rencananya dilakukan. Tamon jarang sekali meng-SMSnya.
“Kenapa, Vi?” Rena, kakak Livi bertanya.
“Kok sepi banget ya, Kak?” Livi balik bertanya.
“Kok gitu?”
Livi memandangi handphone di sebelahnya. “Nggak tahu. Rasanya, sepi banget,” jawab Livi.
Rena tersenyum jahil. “Ternyata, si Livi udah mulai jatuh cinta ya? Kangen sama siapa? Si sapa itu? Yang biasa SMS kamu. Ra... Ramon?”
“Tamon, Kak!” Livi jadi sewot sendiri. “Ramon? Memangnya rawon?”
“Iih... Sewot banget sih adik kakak ini. Salah sedikit aja kok marahnya sampai segitu banget. Saking cintanya ya?” goda Rena.
Livi menggeleng-gelengkan kepalanya, menghilangkan bayangan yang memasuki ingatannya. “Nggak! Aku ma Tamon cuma temen! Titik!” elak Livi.
“Temen apa temen?” tanya Rena lagi, senang menggoda adiknya.
“Temen! Titik!”

KAMU SEDANG MEMBACA
Cry Baby In Love
أدب المراهقينShanny berpikir pindah di sekolah baru, dia bisa memulai hidup baru yang damai. Sayangnya, ada Tamon, cowok yang selalu mengerjai Shanny. Di mana mereka bertemu, di sana juga ada percekcokan. Saking jahatnya, Tamon sering membuat Shanny menangis! Ar...