Chapter 29

7.8K 482 7
                                    

Chapter 29

-------

Tiffany POV

"Lou, aku tidak terbiasa dengan make up sebanyak ini."

"Tidak, ini tidak banyak, Tiff. Ini normal."

"Tapi aku tidak terbiasa."

"Sudahlah, percaya saja padaku. Aku yakin Harry akan menyukainya," Ucapnya yang kemudian memberikanku sebuah dress berwarna hitam. Ia menyuruhku untuk mencobanya, dan aku pun menurutinya.

Sejak 2 jam yang lalu, aku sudah berada di ruangan ini bersama Lou(Teasdale). Ia mendandaniku, katanya Harry yang menyuruhnya. Aku juga kurang mengerti untuk apa Harry menyuruhnya untuk mendandaniku.

Setelah memastikan bahwa aku memakai dress tersebut dengan benar, aku pun keluar dari ruang ganti. Lou tersenyum setelah melihatku, kemudian mengacungkan kedua jempolnya untukku.

"You look so gorgeous, Tiff."

"Thank you, Lou." Ucapku kemudian memeluknya. Ia memilihkan sebuah high heels untukku, dan aku pun menolaknya. Aku tidak suka memakai high heels.

"Aku tidak mau, aku yakin kakiku akan sakit nantinya." Ocehku dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

Ia menjitakku, kemudian menaruh high heels tersebut di hadapanku. "Cobalah dulu."

Aku mencibir, kemudian memakai high heels tersebut. Aku berdiri, dan ia tersenyum puas. "Apa kau bisa berjalan dengan baik?" Tanyanya.

Aku mencoba berjalan, dan aku pun terjatuh. Yaampun.

"Ayo, biar kubantu." Lou membantuku berjalan kembali, sampai akhirnya pun aku bisa berjalan dengan baik menggunakan high heels ini.

"Nah, kau sudah siap?" Tanyanya. Aku mengangguk, kemudian ia membimbingku menuju ruang tamu.

Aku melihat Harry sedang terduduk di sofa, tertidur. Ia sudah mengenakan kemeja dan jasnya. Aku tersenyum, kemudian menghampirinya.

"Harry?"

"Oh, hey. Maaf, aku ketiduran. Um, kau sudah siap?" Jawabnya. Aku mengangguk, kemudian ia berdiri dan menggandeng tanganku sambil tersenyum.

"Kenapa kau tersenyum?"

"Memangnya tidak boleh?"

Aku hanya diam, kemudian masuk ke dalam mobilnya. Aku penasaran kemana ia akan membawaku.

****

"Aku selalu ingin membawamu ke sini." Ucap Harry sambil menuntunku keluar dari lift. Angin malam yang bertiup kencang sempat membuatku merinding, namun aku tidak peduli. Aku terlalu kagum akan apa yang kulihat saat ini.

"Indah, ya?" Ucapku, masih memandangi pemandangan yang ada di hadapanku.

"Iya. Kau senang?"

Aku mengangguk. "Iya, tentu saja. Aku merasa berhutang padamu, tahu. Kau selalu membuatku senang seperti ini, sedangkan aku tidak pernah membuatmu senang."

"Kau salah. Dengan bersamamu saja aku sudah cukup senang, kok. Kau tidak perlu melakukan apapun untuk membuatku senang. Aku hanya minta satu permintaan yang kuharap kau bersedia mengabulkannya."

Aku menatap mata Harry penuh rasa penasaran. "Apa?"

Ia tersenyum padaku, kemudian memandang pemandangan di hadapannya. "Aku ingin kau selalu ada disisiku."

Wajahku memanas seketika. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Ia selalu membuatku merasa seperti ini.

"Apa kau bersedia?" Tanyanya tiba-tiba. Aku hanya terdiam. Aku takut aku salah mengerti akan kata-katanya barusan. Apakah dia ingin aku selalu ada di sisinya sebagai sahabat, atau lebih?

Harry berjalan mendekat, kemudian menggenggam tanganku. "Hey, jawab aku."

Aku menatapnya, kemudian mengangguk. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ia maksud, namun untuk berada di sisinya saja sudah membuatku bahagia.

"Kau mengerti maksudku, kan?" Tanyanya memastikan. Aku mengangguk, "Iya, kau ingin aku untuk berada di sisimu selamanya sebagai seorang sahabat. Benar?"

Ia menggeleng, kemudian menempelkan keningnya dengan keningku. "Tidak, aku ingin lebih."

"Le..lebih?"

"Aku ingin kau berada di sisiku sebagai seorang gadis yang kucintai. Aku mencintaimu, Tiff. Apa kau sadar akan hal itu?"

Aku terdiam. Hey, aku pasti salah dengar. Benar, bukan?

Aku menatap matanya, mencari kepastian. "Boleh kau ulangi sekali lagi?" Suaraku terdengar serak. Aku tidak percaya akan apa yang kudengar barusan. Ini tidak mungkin terjadi.

"Aku mencintaimu, Tiff. Aku mencintaimu sejak dulu. Sejak aku mengenalmu. Apa kau menyadarinya?"

Aku menatap matanya, kemudian menggeleng. 'Tidak. Aku sama sekali tidak menyadarinya." Kemudian, air mataku mulai berjatuhan. Aku tidak percaya, bahwa Harry memiliki perasaan yang sama denganku. Aku terlalu bahagia, sampai-sampai aku menangis seperti ini. Hanya satu kata dari beribu-ribu kata, yang bisa mendeskripsikan perasaanku saat ini. Bahagia.

"Hey, kenapa kau menangis?" Harry mengangkat daguku, kemudian menghapus air mataku. Aku hanya menggeleng, tidak sanggup berkata-kata. "Ada apa, Tiff? Jangan membuatku khawatir."

Setelah menenangkan diri, aku mulai bicara. "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Aku..aku terlalu bahagia, sampai-sampai aku menangis seperti tadi. Kupikir, hanya aku yang menganggapmu lebih dari seorang teman. Tapi ternyata tidak. Ucapanmu barusan itu serius, kan? Kau tidak bercanda, kan?"

Ia tersenyum, kemudian memelukku. "Tidak, aku serius. Aku serius mencintaimu."

Aku kembali menangis, kemudian membalas pelukannya.

"I love you, Harry." Ucapku pelan. Ia melepas pelukanku, kemudian memegang erat kedua tanganku. "I can't hear you."

Aku tersenyum. "I love, you, Harry Styles."

"I still can't hear you."

Aku tertawa, kemudian meninju bahunya pelan. "I love you so much, Harry Styles!"

Ia tertawa, kemudian menciumku. Biar kuulang, ia menciumku.

Aku tersenyum kecil, kemudian membalas ciumannya.

Ini semua bukanlah mimpi, kan?

----------------

End of Chapter 29! Thank you for reading xx

PS : Maaf kalo pendek, nggak memuaskan, bad grammar, typo, late update, apapun itu. Tolong maklumin ya :D Saran dan kritik di terima.

PSS : Tinggal satu lagi chapter terakhir, dan cerita ini bakal tamat :D

Tiffany's Dress >>

See you in the last chapter!

The Unpredicted Life // h.s.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang