Chapter 3 : "Oh God. That Puppy Face."

13.9K 901 1
                                    

----------

Tiffany POV

"Jadi, begitu ceritanya? Hanya itu?" Tanya Grace dengan wajah tidak percaya.

Aku mengangguk kemudian tersenyum, "Iya. Aku sendiri bahkan tidak percaya."

"Well, kurasa kau sedang beruntung, Tiff. Nah, kupikir aku tidak perlu menggendongmu lagi, karena aku tahu kau akan keluar dengan sendirinya, mengingat isi pesan yang dikirimkan Harry untukmu." Grace tersenyum puas, kemudian berjalan keluar.

***

Seperti hari-hari kemarin, aku mengantar pesanan semua pelanggan sendirian. Ed membantu Greg memasak, sedangkan Grace mengantarkan bahan-bahan makanan serta mencatat pesanan-pesanan pelanggan.

Sesungguhnya, masih ada Stacey, Sierra dan John. Sayangnya, mereka sedang pergi berlibur ke Galapagos sejak satu minggu yang lalu. Dan juga Jason, Kelsey, Darren, Alex dan Jennifer yang dipindah kerjakan oleh atasan kami ke pusat restoran sejak 2 minggu yang lalu. Dan, tersisalah kami berempat.

"Tiff, meja nomor dua." Aku mengambil piring-piring makanan tersebut, kemudian membawanya ke meja nomor dua.

Setelah mengantar pesanan, aku menyempatkan diri untuk melihat jam. Jam 10 lebih lima menit.

Astaga. Kemana mereka? Ini sudah jam 10 lebih 5 menit, dan mereka sama sekali belum datang. Sesungguhnya, aku benar-benar butuh bantuan.

"Tiff! Meja tiga belas. Yang ini, meja sepuluh."

Aku mengambil pesanan tersebut, kemudian mengantarnya.

Aku mencari-cari meja sepuluh. Yaampun, kenapa di pojok sekali, sih?

"Permisi." Aku menaruh piring-piring makanan tersebut.

"Kurasa kau benar-benar butuh istirahat, Tiffany." Aku sontak menoleh pada sumber suara. Yaampun.

"Harry?" Tanyaku kemudian mengelap keringatku. Kau tahu, setidaknya aku tidak boleh terlihat dekil di depannya.

"Iya, aku Harry. Dan kupikir kau hanya perlu mengambil shift pagi. Apakah tidak ada orang lain yang bisa menggantikanmu?"

"Aku tidak punya banyak waktu untuk menjawab pertanyaanmu. Well, aku akan menyempatkan diri menghampirimu lagi jika mereka datang." Aku tersenyum, kemudian berlari ke arah Greg meninggalkan meja nomor sepuluh. Meja Harry.

**

13.00 P.M

"Astaga. Sebenarnya dimana mereka? Kenapa mereka belum juga datang?" Aku mengelap keringatku dengan selembar tissue.

Dan Tuhan memang masih menyayangiku, karena keadaan restoran saat ini sudah mulai sepi. Ya, aku tahu kenapa. Karena satu jam lagi, restoran ini akan tutup selama satu jam. Well, kau tahu, jam istirahat.

"Entahlah. Bagaimanapun juga mereka benar-benar keterlaluan, membiarkan kita berempat harus kerja keras selama seminggu." Grace melipat kedua tangannya, sambil sesekali mengelap keringatnya.

"Yah, kurasa waktu istirahat kita akan lebih cepat satu jam. Lihat, tidak ada pelanggan lagi. Kecuali, pria yang dipojok sana. Kurasa dia menunggumu, Tiff." Ed berjalan menuju pintu masuk dan menguncinya.

"Demi apapun, aku akan menghabisi mereka besok." Grace mendengus, kemudian berjalan masuk ke dalam ruangan istirahat diikuti Ed dan Greg. Setelah mereka bertiga masuk ke ruang istirahat, aku berjalan pelan menuju meja Harry. Kurasa ia tertidur.

Oh, tentu saja ia tertidur. Ia berada disini sejak jam 10 pagi, hanya berdiam diri bermodalkan secangkir kopi panas dan iPhone miliknya. Mana mungkin ia tidak akan bosan?

Aku duduk di hadapannya, kemudian memperhatikan wajahnya yang sedang tertidur secara diam-diam. Aku benar-benar beruntung.

Demi apapun, aku tidak bisa berhenti tersenyum setiap kali aku melihat wajahnya. Astaga.

Apa yang terjadi padaku?

Aku memutuskan untuk membangunkannya. Daripada aku terus memperhatikan wajahnya? Uh, dipikir aku gila.

"Harry, wake up."

Harry membuka matanya perlahan. "Oh, I'm sorry Tiff."

"No, it's okay."

"Jadi, um.." Harry menggaruk tengkuknya dengan wajah canggung.

"Ya, sekarang adalah jam istirahat. Tapi..sebenarnya untuk apa kau tetap disini? Kenapa kau tidak pulang?" Tanyaku hati-hati. Kalau boleh jujur, aku berharap bahwa dia menungguku.

"Sebenarnya..aku menunggumu selesai bekerja." Harry tersenyum, kembali menunjukkan lesung pipinya.

Hei, aku tidak salah dengar, kan? Dia benar-benar menungguku?

Yaampun. Yaampun. Yaampun.

"Wajahmu memerah, Tiff. Kau sudah seperti kepiting rebus, hahaha."

"Benarkah? Um- maaf." Aku menunduk, menutup wajahku dengan kedua tanganku. Argh, benar-benar memalukan.

"Tidak perlu menutupinya, Tiff. Bukankah aku sudah pernah bilang? Kau cantik disaat kapanpun."

"Tidak, kau tidak pernah mengatakannya."

"Kalau begitu, aku baru saja mengatakannya."

"Okay, lupakan. Jadi, ada apa? Kenapa kau menungguku?"

"Aku hanya ingin berbicara denganmu."

"Jadi, setiap kali kau ingin berbicara denganku, kau akan menungguku selesai bekerja, begitu?"

Harry mengangguk, "Habisnya, kau tidak mau memberi tahu nomor teleponmu padaku, sih."

Aku terkikik. "Oh, aku mengerti. Jadi begitu caramu supaya bisa mendapatkan nomor teleponku, ya?"

Harry tertawa. "Yah, bisa dibilang begitu."

"Okay, kurasa aku sudah cukup mengenalmu. Lagipula, kau mudah bergaul denganku. Jadi..aku akan mempertimbangkannya."

"Oh, ayolah Tiff. Please?"

Oh, God. That puppy face.

"Okay, okay! Kau tahu, puppy face-mu sungguh berguna. Baiklah, keberatan jika aku pinjam sebentar iPhone mu?"

Harry tersenyum, kemudian memberikan iPhone miliknya padaku. Aku menyimpan nomorku di kontaknya, kemudian mengembalikannya.

"Done."

-----------

The Unpredicted Life // h.s.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang