Begin The New Start

47 0 0
                                    

Aku merasa malas untuk pergi ke kantor hari ini. Jujur, aku masih merasa sebal dengan Raka. Mengapa kami ditempatkan di satu divisi? Mengapa dia harus pindah dari LA dan malah mutasi ke kantor cabang di Indonesia? Dan mengapa pula dia harus sedivisi denganku? Argh, banyak kata 'mengapa' berkecamuk di pikiranku.

Aku turun dari kasurku dengan perasaan enggan, berjalan menuju kamar mandi, dan tak lebih dari lima menit aku sudah keluar dari kamar mandi dan siap untuk berpakaian. Walau hati ini enggan, tapi aku tetap harus pergi ke kantor, mengingat hari ini ada rapat satu divisi di pagi hari ini. 

O'oo...

Rapat satu divisi?

Berarti aku harus melihat wajahnya lagi selama kurang lebih dua jam? Atau bahkan lebih?
Duh, sudah cukup kemarin ia membuatku sebal dengan sikap ketusnya. Duh, semoga aku tahan dengan sikap ketusnya lagi.

Ketika aku mengambil sekarton susu coklat dari kulkas, aku melihat setetes dua tetes hujan kembali membasahi bumi. Ya, memang hujan bisa turun setiap hari di musim hujan seperti ini.

Hujan?

Kalau dipikir-pikir, aku dulu benci sekali hujan. Saat aku kecil hingga remaja, aku dan keluargaku tinggal di daerah yang rawan banjir. Otomatis, setiap hujan turun dengan deras, rumah kami kebanjiran. Di satu sisi aku senang karena aku bisa bolos sekolah dengan alasan banjir, tetapi begitu banjir surut, aku melihat dinding kamarku yang kotor penuh bercak coklat akibat lumpur bekas banjir. Dan lagi, aku harus membersihkan sisa-sisa lumpur tersebut. Ugh, membayangkannya saja aku sudah merasa jijik. Untuk itulah ketika aku mulai dewasa dan mulai bekerja, aku memulai hidupku yang baru di apartemen. Selain karena lokasinya lebih dekat dengan kantorku, aku juga bisa terhindar dari banjir dan privasiku tetap terjaga.

Hujan turun semakin deras. Aku langsung menyelesaikan sarapanku kemudian aku langsung berangkat menuju kantor. Tak lupa payung bening andalanku aku bawa. Tak kusangka payung ini cukup awet sejak empat tahun lalu aku beli di Jepang. Payung ini cukup murah, sekitar ¥300 yang kubeli di Lawson dekat stasiun. Aku beli karena kebetulan saat aku ke Jepang waktu itu sedang musim peralihan dari summer ke autumn, sehingga hujan turun hampir setiap harinya. Tak ku sangka payung ini masih berguna hingga detik ini.

Begitu keluar dari gedung apartemen, aku sudah disuguhi oleh pemandangan Jakarta yang super macet dan ditambah hujan deras. Aku langsung melangkahkan kakiku menuju kantor. Untung saja jalanan antara apartemenku dengan kantor tidak terkena banjir sehingga aku tidak harus bersusah payah melewati banjir. 

Begitu aku sampai di lobi kantor, langkahku terhenti. 

Kenapa harus berpapasan dengannya?

Dia sudah berdiri di depan meja resepsionis, jas dan celana yang ia pakai sedikit basah akibat air hujan, wajahnya yang terlihat sedikit kesal, dan...o'oo...dia melihat ke arahku!

Mungkin  saat aku dulu masih di bangku kuliah, aku akan sangat senang sekali ketika berpapasan dengannya. Namun, kali ini keadaannya berubah. Rasanya aku ingin sekali pergi dari sini sekarang juga. Tapi aku tidak bisa. Aku bahkan tertegun memandang dirinya yang kini tengah berjalan ke arahku. APA?!

Aku menengok ke kanan dan kiri, juga tak lupa menengok ke belakangku. Tidak ada orang. Oke, mungkin dia ingin ke luar dari lobi.

Tapi dia malah berhenti tepat di depanku!

Oh Tuhan, aku harus bagaimana?

Padahal aku masih sebal dengan sikapnya kemarin, tapi tetap saja dia adalah orang yang selalu ada di pikiranku sejak enam tahun terakhir ini! 

"Oi, ada tisu engga?" tanyanya. Oh ya aku baru menyadari kini ia sangat tinggi. Aku sampai harus mendongak untuk melihat langsung ke matanya. 

"Wait..." ucapku sambil merogoh tasku untuk mengambil tisu. Duh, mana sih itu tisu? Kalau lagi dicari susah sekali ketemunya!

"Elo engga pernah berubah..." ucapnya dengan nada yang sedikit lembut. Sedikit, lho!

Eh?

Aku kembali memandang sosok yang masih berdiri di depanku. Dia memandangku langsung ke mataku. Dan tatapannya...berbeda sekali dengan tatapan ia kemarin.

"Siapa bilang? Memang elo kenal gue betul?" ucapku setengah menantang. Terbayang rasa sebalku akibat keketus-an ia kemarin. Aku kembali mencari-cari tisu di tasku. Aha! Ini dia! 

Aku langsung mengeluarkan tisu tersebut dan mengambil beberapa lembar. Ku sodorkan tisu tersebut. Ia sempat terdiam, tidak menggubris tisu yang telah kusodorkan. Ia malah menatapku, tanpa menjawab ucapanku barusan. Tuhan, aku tidak mau berlama-lama berdiri di depannya!

Akhirnya aku tarik tangan kanannya dan langsung aku letakkan tisu-tisu tersebut di atas telapak tangannya. Aku pun langsung melesat pergi dari situ dan langsung menuju toilet wanita. Ia tak akan mengejarku sampai ke toilet, bukan?





The Same YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang