Matahari pagi menembus gorden kamar dan memaksaku untuk membuka mata. Aku melirik ke arah jam dinding dan kini sudah pukul tujuh pagi.
Aku langsung berdiri dari tempat tidurku. Ugh, rasanya kepalaku berat sekali. Aku pun berjalan keluar dari ruang tidur dengan sedikit terhuyung dan aku sempat kaget mendapati sosok Raka yang masih tertidur di atas sofa.
Ah iya, aku baru ingat.
Semalam, ia langsung jatuh pingsan setelah ia menciumku. Dia terkena demam akibat kehujanan semalam. Dan aku semalaman harus mengurus dirinya, sampai-sampai aku baru tidur saat tengah malam.
Perhatianku tertuju ke wajah Raka yang masih tertidur dengan damai. Mataku langsung terarah menuju bibirnya, terngiang akan ciuman kemarin serta apa yang akan ia ceritakan kepadaku. Belum sempat ia bercerita, ia langsung pingsan. Aku pun harus bersusah payah mengangkut dan menyeret tubuhnya ke sofa, mengeringkan pakaiannya dengan hair dryer (karena tidak mungkin, kan, aku mengganti bajunya?), dan mengompres kepalanya.
Sejujurnya, aku sempat kaget dengan perlakuan Raka kepadaku kemarin. Ia menjadi lebih ekspresif, terutama ketika kami berciuman. Berbeda sekali dengan image Raka yang dulu, yang super kalem, cenderung diam, dan lebih sopan. Namun sekarang, ia sudah menciumku tanpa permisi, dan bodohnya aku membalas ciumannya.
Ugh, kenapa aku harus memikirkan hal tersebut?
Aku berjalan menuju dapur untuk membuat sarapan dan teh hangat. Aku tidak tahu sarapan seperti apa yang Raka biasa santap, tapi karena ia sudah menginap tanpa ijin di apartemenku dan nanti ia akan numpang makan, ia tak punya hak untuk menentukan sarapan yang ia inginkan. Terima apa adanya.
Aku berusaha meraih toples berisi kantung teh dari laci dapur bagian atas namun tiba-tiba saja gerakanku harus terhenti karena Raka memelukku dari belakang. Ia--lagi-lagi tanpa permisi--mengecup leherku!
Aku langsung melepas pelukan Raka dan berjalan menjauh darinya. Jujur aku merasa risih karena ia bukanlah suamiku, dan ia sudah punya istri, tapi dia memperlakukanku layaknya istrinya!
Ia menatapku dengan pandangan merasa bersalah. "Aku minta maaf, Rika. Bukan maksud aku untuk..."
"Kalau elo sudah sehat, gue rasa elo harus pulang sekarang. Gue engga pengen timbul fitnah." Ucapku frigid.
"Tapi, urusanku belum selesai denganmu..." ucapnya dengan suara lemah.
"Memang urusan elo apa lagi? Elo dateng, elo tiba-tiba nyium gue, bikin gue tambah menderita, dan gue harus rawat lo semaleman?! Elo mau bikin gue mati berdiri, hah?!" Ucapku dengan menaikkan suaraku sebanyak 2 oktaf.
Ia tertegun, kaget dengan perkataanku barusan, namun ia tak ingin membalas ucapanku. Ia menatapku dengan nanar namun aku berusaha untuk membuang muka. Di satu sisi, aku kesal dan kecewa kenapa kini tingkahnya kepadaku menjadi seperti ini--begitu ekspresif dan agresif. Mengijinkan ia menginap di apartemenku semalam saja sudah membuatku risih, apalagi ditambah tingkah dia yang begitu agresif memelukku dan mengecup leherku?
Tiba-tiba ia memelukku dan aku tak sempat menghindar. Aku berusaha melepaskan pelukannya namun aku hanya wanita biasa, sulit melepaskan rengkuhan seorang pria dewasa. Ia memelukku begitu erat, seakan tidak ingin aku lepas darinya. Aku berusaha terus mengelak namun lama-lama aku kecapekan sendiri karena sepertinya ia belum enggan untuk melepaskanku. Akhirnya aku hanya bisa terdiam dipeluknya.
Ia mengusap rambutku dengan lembut. "Andai dari dulu aku bisa sejujur dan seekspresif ini, mungkin sekarang kita sudah bahagia bersama, Rika. Hanya aku dan kamu." Ucapnya lembut.
Aku tertegun mendengar ucapannya. Apa maksudnya? Jujur dari dulu?
"Aku sudah mencintai kamu dari dulu, Rika. Jauh sebelum kita berada di organisasi yang sama." Ucap Raka.
Hening.
Aku tak sanggup berbicara. Dan ia sepertinya menunggu responku.
"Tapi sekarang elo sudah punya istri, Ka." Jawabku.
Ia terdiam.
"Tapi...kita masih bisa bersatu, Rika." Ucapnya ambigu.
"Elo gila..." ucapku. "...lagipula, memangnya gue mau sama elo?" Jawabku dengan nada dingin.
Ia melepas pelukannya, menatapku dengan tatapan sedikit kesal, dan tiba-tiba ia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku baru mau mundur namun tangannya lebih cepat melingkar di pinggangku, menahanku di dalam rengkuhannya.
Ia mengecup bibirku sebentar kemudian ia tersenyum menatap mataku. "Tapi aku tahu kamu juga mencintaiku dan masih mencintaiku sampai sekarang."
Aku menatapnya dengan kesal, kesal karena lagi-lagi ia mengecupku tanpa permisi dan kesal kenapa ia sepertinya bisa membaca hatiku.
"Elo super nyebelin!" Ucapku sambil menarik lehernya dan mengecup bibirnya kembali. Ia membalas ciumanku. Aku seperti melupakan fakta bahwa dia beristri, yang kuinginkan hanya menumpahkan emosiku selama ini.
Suara teko air panas yang berbunyi kembali menyadarkan gelora asmara di antara kami berdua. Aku langsung melepas diri dari rengkuhannya dan mematikan kompor.
"Raka!" Ujarku masih menghadap ke kompor. "Kalau mau nyium orang, sikat gigi dulu! Bau tau!"
Raka langsung tertawa mendengar ucapanku. Tawanya begitu terbahak-bahak dan baru kali ini aku mendengar tawanya yang seperti itu.
"Hahaha, maaf Rika." Ucapnya di sela tawanya. "Aku nanti sikat gigi dulu deh, baru kita lanjutkan yang tadi." godanya.
"Elo bener-bener gila."
"Rika..." ucap Raka dengan nada serius.
Aku tak merespon, tanganku malah sibuk meracik teh.
Lagi-lagi, Raka memelukku dari belakang. Aku--yang sudah mulai terbiasa dengan perlakuan agresifnya--langsung terdiam. Tangan kiriku masih memegang toples berisi teh bubuk dan tangan kananku memegang sendok kecil. Sengaja aku tak letakkan kedua barang tersebut agar aku tidak membalikkan tubuhku dan ikut memeluk Raka. Sudah cukup aku tadi khilaf menciumnya duluan.
"Rika..." panggil Raka lagi "...setelah kamu mendengar ceritaku ini, maukah kamu menemaniku ke LA?"
Hah?
Aku meletakkan toples dan sendok tersebut di atas counter dan langsung melepas rengkuhan Raka. Aku membalikkan badanku agar aku bisa menatapnya. "Tergantung cerita apa yang akan elo ceritakan." Ucapku.
Ia tersenyum. "Jadi begini..."
**********************