Day 1

31 0 0
                                    

Matahari pagi menyeruak masuk dari sela-sela gorden. Nampaknya hari ini matahari tidak enggan untuk muncul. Atau memang sedari kemarin di Singapura memang cerah terus?

Belum sempat aku melihat jam, tiba-tiba terdengar suara gedoran di pintu. Ugh, siapa sih yang gedor pintu sekeras itu?!

Aku langsung turun dari kasur dan berjalan menuju pintu. Begitu aku membuka pintu, aku kaget sekali karena sudah mendapati sosok Raka yang sudah rapi dengan kemeja berwarna biru muda serta wangi parfumnya. Raka nampak lebih kaget melihatku.

"Rika?! Kamu baru bangun?!" Tanyanya kaget.

Seketika aku langsung panik. Ya Tuhan! Aku lupa hari ini aku harus training!

"Ka, duluan aja! Gue telat bangun!" Ucapku buru-buru sembari menutup pintu kamarku. Buru-buru aku menuju kamar mandi dan bersiap-siap. Astaga, kenapa aku bisa lupa, sih?

Tak sampai 15 menit, aku sudah siap dengan setelan Zara Suit ku yang berwarna biru muda. Aku langsung melesat menuju pintu kamar.

Lho?

"Aku engga bilang kalau kamu kesiangan, Rika." Ucap Raka yang masih setia menunggu di depan kamarku.

Eh?

"Oh..oke.." ucapku.

"Yaudah, yuk sarapan." Ajak Raka.

Dan disinilah kami, duduk di meja yang bersamaan tetapi masing-masing saling diam.

Tiba-tiba terdengar suara handphone yang bergetar. Sudah pasti handphone Raka, karena handphoneku tidak dalam mode getar.

Tiba-tiba terdengar suara decitan bangku. Aku baru menoleh dan aku sudah melihat Raka berjalan menuju keluar restoran dengan handphone yang kini ia tempelkan di telinganya.

Aku buru-buru menyelesaikan sarapanku agar aku tak perlu berlama-lama disini berdua dengannya dalam keadaan saling diam.

Setelah selesai meneguk secangkir English Breakfast milikku, aku mulai bergegas untuk pergi tepat ketika Raka mulai kembali ke meja.

"Gue duluan ya, Ka." Ucapku singkat sembari berjalan keluar dari restoran. Raka tak membalas ucapanku sama sekali dan ia malah sibuk menikmati sarapannya--bahkan ia sama sekali tak melihat ke arahku.

Untung hotel tempatku menginap dekat dengan stasiun MRT jadi aku lebih memilih untuk naik MRT dibandingkan naik taksi. Untungnya ketika aku memasuki peron, kereta tujuanku sudah memasuki peron. Aku langsung mempercepat langkahku hingga akhirnya aku berhasil masuk ke kereta. Jam segini memang sedang rush hour, jadi wajar saja tidak ada bangku kosong, bahkan aku harus berdiri di dekat pintu karena kereta sudah sangat penuh.

Sepanjang perjalanan menuju kantor, entah kenapa memoriku tentang Raka kembali muncul layaknya video yang direwind.

Pertama kali aku bertemu Raka ketika aku masih di bangku kuliah. Saat itu, Raka merupakan teman satu organisasi. Saat itu kami berada di departemen yang berbeda, aku di departemen kajian sedangkan dia berada di departemen operasional dan IT. Hubungan aku dan Raka menjadi dekat karena saat itu kami sedang mengadakan event dan kebetulan aku dan Raka yang menjadi penanggung jawab event tersebut. Walau hanya beberapa bulan persiapan, tetapi kami mampu mencapai kesuksesan event tersebut. Tetapi, setelah event tersebut selesai, hubunganku dengan Raka semakin meregang. Tetapi, sejak saat itu, aku tidak bisa melupakan dirinya. Bahkan ada satu momen yang sama sekali tak pernah aku lupakan.

Saat itu, hujan turun deras. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Aku saat itu baru saja selesai membereskan barang di ruang sekre sehingga aku pulang kemalaman. Semua temanku sudah pulang dan situasi kampus sudah sepi. Biasanya aku berjalan kaki dari kampusku menuju stasiun kereta bersama temanku. Dan saat itu aku sendirian. Tadinya aku berniat untuk memanggil ojek tetapi karena hujan tidak ada ojek yang mangkal. Serba salah karena kalau aku menunggu hujan reda, aku tidak mau menunggu sendirian di kampus yang sudah sepi ini. Tetapi kalau aku pulang sendirian jalan kaki, jujur aku takut. Bukan takut akan hantu, tetapi lebih takut terhadap orang jahat. Setelah agak lama berpikir, tiba-tiba ada suara langkah sepatu dari arah belakangku. Aku menoleh dan aku mendapati sosok yang familiar.

"Elo belum pulang, toh." Ujarku sambil tersenyum simpul. Raka, yang saat itu masih dengan setelan polo shirt berwarna coklat tua, celana jins, serta jaket varsity yang ia sampirkan di bahu, serta masih dengan kacamata frame hitam, menghampiri aku yang masih berdiri di depan pintu lobi.

Raka tersenyum, "Tadi abis ada urusan sama dosen jadinya baru balik. Lo sendiri kenapa baru balik?"

Aku menatap hujan. "Baru beresin ruang sekre. Habis berantakan sekali. Pasca The Movement kayaknya engga pernah diberesin deh itu sekre." Ujarku sambil tersenyum meringis. Ugh, entah kenapa aku jadi teringat event itu. Event dimana aku dan Raka jadi memiliki hubungan dekat, walau hanya sebentar.

"Ya ampun. Elo sendirian beresin sekre?" Tanya Raka setengah takjub. Aku menggangukkan kepala sambil tersenyum meringis. Lalu hening mulai kembali datang. Kini kami berdiri berjajaran di depan pintu keluar. Nampaknya hujan masih enggan untuk berhenti. Bahkan kini makin deras saja. Otomatis percikan air hujan semakin terasa. Baik aku dan Raka mundur dua langkah agar tidak terkena percikan air hujan. Namun...

Gedubrak!

"AUW!" teriak kami berdua berbarengan.

Aku dan Raka sama-sama terpeleset akibat genangan air hujan yang semakin membasahi lantai lobi. Awalnya aku yang terjatuh dan bodohnya aku malah menarik lengan Raka sehingga ia ikut terjatuh.

Raka langsung berdiri sambil sedikit mengerang. Celana jinsnya terlihat berwarna gelap yang ternyata merupakan basah akibat genangan air hujan. Lalu aku menyadari, ternyata aku mengalami hal yang sama--celanaku juga basah!

"Duh...celana gue basah banget." Erangnya. Aku cuma bisa tertunduk, merasa tidak enak karena ia jadi ikut terpeleset bersamaku.

"Sorry..." ucapku dengan suara yang sangat pelan. Ia tak menjawab. Lagi-lagi hening menghampiri--dan kini ditambah udara yang semakin dingin akibat celana kami kebasahan. Aku merasa sangat tidak enak kepada Raka. Ugh, andai aku tak menarik lengannya, ia tak harus kebasahan seperti itu!

Kemudian, tiba-tiba saja Raka berlari menghadang hujan. Kini tubuhnya benar-benar basah kuyup. Astaga, apa yang dia pikirkan, sih?

Ia pun membalikkan punggungnya ke arahku. "Gue udah terlanjur kehujanan, nih. Lo harus tanggung jawab!" ucapnya sambil sedikit tertawa.

Tanpa ragu, aku melangkahkan kakiku menebas hujan. Rintik air hujan yang membasahi wajahku membuat pandanganku kabur dan tanpa sengaja aku berlari menabrak Raka--yang untungnya ia langsung memegang bahuku agar kami tidak terjatuh.

"Sudah impas, kan?" tanyaku sambil tersenyum. Ia tak menjawab. Ia malah memayungiku dengan jaket varsitynya.

"Bodoh! Siapa suruh ikut hujan-hujanan?!" tanyanya. "Ya sudah, lari yuk sampai stasiun!"

Akhirnya, kami berdua berlari menuju stasiun hanya dengan dipayungi jaket varsity Raka. Walau jaketnya hanya bisa menutupi kepala kami, tetapi cukup untuk melindungi kepala kami dari terpaan hujan langsung.

Sudah bisa ditebak keesokan harinya aku langsung demam sehingga aku harus bedrest selama 3 hari. Tetapi, demam tidak mengalahkan kenangan pada saat itu, saat dimana aku mulai mencintai hujan.



The Same YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang