-Los Angeles, Autumn 2009-
Aku memandangi seisi ruangan flatku. Ruangan seukuran 7 x 9 meter ini hanya terdiri atas 1 kamar tidur, 1 kamar mandi, dan ruang makan yang digabung dengan ruang tamu dan dapur. Sewa di flat ini cukup terjangkau dan lokasinya dekat dengan metro, sehingga aku harap aku bisa betah di flat ini.
Baru aku menghempaskan tubuhku di atas sofa tua berwarna merah maroon, ponselku berbunyi. Aku merogoh saku jinsku dan mendapati nomor yang belum familiar di mataku. Bukan +62 lagi, melainkan +1, dan kini angka depan si penelepon adalah +1 213, menandakan bahwa si penelepon berada di area yang sama denganku, di LA. Ah, pasti Cody!
"Welcome to LA, bro!" Ucap suara yang baru kali ini kudengar. Wajar saja, selama ini aku berkomunikasi dengan Cody via email atau Facebook. Kami tidak pernah skype-an karena perbedaan waktu antara Indonesia dan Amerika Serikat. Aku pun mengenalnya melalui situs couchsurfer beberapa minggu lalu. Walau ia menawarkan flatnya untuk ditempati bersama, namun aku menolak dengan alasan ingin mandiri. Sebagai gantinya, ia menawarkan diri untuk menjadi tour guideku selama aku berada di LA.
"Thanks, Bro. Phew, I've just arrived here for about 3 hours, and I'm so damn freezing. I never thought that autumn will be this cold." Ucapku. Terdengar suara tertawa Cody yang sangat renyah.
"Actually, the weather are way more better recently." Jelasnya. "Well, it couldn't be helped since you're from the tropical country."
"Seems like that..." responku "...cause this is the first time I go abroad, all by myself."ucapku sembari menatap langit-langit, membayangkan apa yang akan terjadi ke depannya padaku ketika aku berada di LA ini.
"That's why I'm here for you, bro. Anyway, we should celebrate it. I'll be there at 4 pm, I'll cook you something good as my warmth welcome. How about it?" Tanya Cody dengan nada senang.
Aku tersenyum hangat, bahagia akan ketulusan Cody. "That's great! Thanks anyway!"
"Anytime." Jawab Cody. "You don't drink alcohol, do you? Cause I wanna bring some of my favorite beers."
"Of course no, but I don't mind if you bring those beers for yourself." Jawabku.
"Alright, then." Ucap Cody yang langsung memutuskan telepon.
Aku berdiri dan berjalan menuju jendela. Angin berhembus meniup dedaunan dari pohon oak di depan flatku yang sudah berwarna oranye kemerahan. Warna yang sangat indah.
"Gue suka banget kondisi saat musim gugur..."
Kalimat itu terngiang-ngiang di otakku, membuka kembali 'kotak kenangan' yang sudah sengaja kusimpan baik-baik agar tidak terbuka. Aku bahkan masih mengingat bagaimana ekspresinya ketika mengucapkan kalimat tersebut.
Erika Novelyn. Rika.
Gadis yang walau aku baru kenal hanya dalam kurun beberapa bulan telah berhasil membuatku bingung.
Ya, sepertinya aku menyukai gadis itu. Gadis berambut sebahu dengan sedikit gelombang ikal, berwarna hitam sedikit kecoklatan, mata berwarna coklat kehitaman, tipikal gadis baik-baik.
Sejujurnya, aku sendiri bingung kenapa aku bisa menyukainya. Tadinya kupikir aku hanya terkena 'cinlok', tapi setelah The Movement dan sampai akhir masa kepengurusan kami di organisasi, aku tetap tidak bisa memalingkan wajahku darinya. Ada sesuatu dari dalam dirinya yang membuatku sangat tertarik, entah itu apa.
Bahkan hingga aku sampai di LA, aku masih saja memikirkannya.
****************************
Suara ketukan pintu membangunkanku dari tidurku. Aku sepertinya baru saja tertidur di sofa. Kepalaku rasanya pening dan masih agak mengantuk, mungkin akibat jetlag. Aku langsung berdiri dan berjalan menuju pintu dan mendapati dua orang tengah berdiri di depan pintuku dengan tangan memegang paper bag.