"Rika..."
Suara itu terdengar dari balik pintu kamar hotel. Aku yang tengah membereskan koperku langsung berjalan menuju pintu. Tanpa ragu aku memutar kenop pintu dan mendapati sosok tampan yang sangat familiar bagiku."Kenapa, Ka?" Tanyaku.
Raka tersenyum, senyumnya yang dulu aku rindukan. "Kamu sudah bereskan kopermu?" Tanyanya.
Aku mengangguk. "Iya. Biar besok aku tidak usah ribet lagi packing. Kenapa memang?"Senyumnya sedikit memudar. "Ooh, tidak. Aku cuma mau ngajakin kamu makan siang, kok. Kamu belum makan, kan?" Tanyanya.
*******************************
Hujan turun deras begitu kami berdua keluar dari stasiun MRT. Sialnya, baik aku maupun Raka tidak membawa payung. Terpaksa kami menunggu hujan reda.
Tetes hujan yang turun, posisi yang sama persis yakni aku berdiri di sampingnya menanti hujan reda, mengingatkan aku akan kejadian saat itu. Salah satu kenangan manis yang membuatku menyukai hujan. Salah satu momen saat rasa cintaku mulai tumbuh kembali, dan entah mengapa cinta ini terus bertumbuh.
"Rika, itu di seberang sana ada restoran gitu. Mau kesana aja? Aku sudah lapar sekali." Ujarnya dengan muka memelas. Tanpa menunggu jawabanku, ia langsung membuka jaket jins yang ia kenakan dan langsung menutup kepalaku dan kepalanya dengan jaketnya. Kami pun berlari menuju restoran yang ditunjukkan Raka. Genangan air mulai membasahi bagian bawah celana jinsku dan sepatuku. Namun aku tak peduli, toh aku pun menikmati momen ini.
Untung jarak antara stasiun MRT dengan restoran yang ditunjuk Raka hanya berkisar 10 meter. Namun pakaian kami menjadi cukup basah dan walau kepalaku ditutupi dengan jaketnya, rambutku tetap basah akibat hujan.
Kami pun berteduh sejenak sembari mengeringkan pakaian kami di bawah kanopi restoran. Gemericik suara hujan masih menemani dan dinginnya udara mulai terasa. Tak sadar, tanganku ternyata gemetaran sendiri.
Raka yang menyadari aku tengah mengigil, langsung menggenggam tanganku. Aku menoleh ke arahnya. Kepalaku yang hanya setinggi bahunya lama kelamaan menjadi setara dengan tinggi kepalanya. Yang ternyata ia memang menundukkan tubuhnya dan entah mengapa kepalanya semakin mendekat ke arahku.
Hanya sejenak, namun sepertinya aku semakin menyukai momen hujan ini. Raka menciumku lembut dan masih terasa wangi lemon. Waktu seakan berhenti dan ingin rasanya aku berada dalam keadaan seperti ini terus.
Suara ponsel yang bergetar menyadarkan kami. Nampaknya lagi-lagi ponsel Raka yang mendistraksi. Ia merogoh kantung celananya dan seketika wajahnya sedih. Ia masukkan kembali ponselnya dan wajahnya terlihat sangat risau.
"Raka, kamu kenapa?" Tanyaku.
Ia tak menjawab, hanya melihatku dengan nanar. Ia langsung memelukku dan aku bisa merasakan ada air mata yang jatuh membasahi bahuku.
"Rika...aku tidak menyangkal perasaanku yang sudah lama terpendam." Ujarnya dengan suara serak.
Ia terdiam.
Namun aku tahu, bahwa selama ini perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan.
"...tapi aku tidak bisa begini, Rika." Ujarnya lagi. Aku bingung apa maksud ucapannya.
Ia melepas pelukannya dan lagi-lagi ia menciumku. Aku tak menyangka Raka yang dulu terlihat sangat alim bisa bertindak seperti ini. Kecewa? Sedikit. Tapi aku lebih merasa senang karena perasaanku terjawab sudah selama beberapa tahun terakhir.
Ia melepas ciumannya, dan menatapku dengan serius. "Aku tidak bisa seperti ini lagi karena aku sudah punya istri, Ka." Ujarnya dengan nada sedih. Ia mengeluarkan cincin dari kantong celananya. Ada tulisan R to I. Seketika badanku lemas dan ingin rasanya menghilang dari situ sekarang juga.
Dan sejak saat itu aku kembali membenci hujan.