Decision

16 0 0
                                    

"..itu awal kisahku ketika aku bertemu dengan.." Raka menunduk menatapi mug berisi kopi yang sudah dingin. "...istriku."

"Dan lo masih berani mendekati gue dan nyium gue di saat lo punya istri yang menunggu lo di LA. Lo bener-bener udah berubah drastis ya, Ka.." responku dingin. Sebal. Rasanya kesal sekali mendengar cerita pertemuannya dengan istrinya.

"Aku masih ingin melanjutkan cerita, tapi sepertinya kalau aku hanya menyampaikan secara lisan, sulit bagimu untuk mempercayaiku. Maka dari itulah, aku ingin sekali mengajakmu ke LA, secepatnya. Biar aku bisa membuatmu percaya." Jelas Raka panjang lebar. Matanya menatapku penuh harap, menanti jawaban dariku.

Aku hanya bisa membuang muka dan memandangi langit kelabu dari balik jendela. Weekend yang kelabu.

"Terus...setelah gue ikut elo ke LA, elo enggak akan ganggu gue lagi? Enggak akan mendekati gue lagi?" Tanyaku.

Ia menatapku dengan sedih. "Aku enggak bisa janji kalau untuk soal itu..."

"Kalau gitu gue gamau ke LA." Jawabku tegas. "Dan gue rasa elo sudah terlalu lama disini. Gue mau pergi siang ini."

Raka langsung berdiri. "Sorry, mungkin aku sudah mengganggu akhir minggumu dan merepotkanmu..."

"Memang.."jawabku dingin

"..tapi aku mohon banget supaya kamu mempertimbangkan masalah ke LA ini."

Aku tak merespon. Aku langsung berdiri dan berjalan menuju pintu balkon, memandangi langit Jakarta yang masih kelabu.

"Aku tak ingin kehilangan kamu lagi, Rika."ucap Raka dari arah belakangku. Ia memelukku erat, namun aku hanya bisa berdiri mematung.

"Elo enggak boleh egois, Ka."jawabku berusaha untuk menahan air mata. "Istri elo setia menunggu lo disana, dan lo bersikap sebaliknya."

Ia melepas pelukannya. Tanpa suara, ia langsung meninggalkan apartemenku. Begitu mendengar suara pintu tertutup, aku langsung mengambil ponsel yang kuletakkan di atas meja makan.

"Mama.."ucapku begitu teleponku diangkat."..aku akan coba bertemu dengan Satria. Secepatnya."
********************

Ketika jarum panjang dan jarum pendek sudah menunjukkan angka 12, aku langsung berdiri dari kubikelku. Wika--yang kubikelnya persis di sampingku--langsung menatapku dengan tatapan penuh tanya. Wajar saja, biasanya kalau jam istirahat seperti ini, aku tidak sesigap seperti sekarang.

"Rik, mau kemana?" Tanya Wika sambil membereskan berkas-berkas di mejanya tetapi matanya masih memandangiku dengan heran.

Aku tersenyum kecil. "Ada urusan bentar." Ucapku. Sebelum Wika ataupun rekan kerjaku yang lain menanyakan aku akan kemana, aku sudah bergegas keluar dari ruangan. Sekilas ketika aku membuka pintu ruangan, aku melihat tatapan Raka yang penuh tanya. Namun, aku tahu aku harus bergegas pergi, sebelum aku membatalkan niatku untuk mengubah nasib dan hatiku.

Aku berjalan menyusuri lorong-lorong yang masih agak sepi, hanya beberapa orang saja yang baru saja keluar dari ruangannya untuk beristirahat. Bagus, berarti lift belum terlalu penuh!

Untunglah begitu aku sampai di pintu lift, pintu lift sedang terbuka. Aku mempercepat langkahku untuk masuk ke lift dan lift langsung tertutup. Sebelum pintu lift tertutup, aku baru menyadari bahwa Raka tadi tengah berjalan di belakangku, walau ia berusaha menjaga jaraknya kira-kira dua meter. Dan begitu pintu lift hampir tertutup, aku sekilas melihat wajah Raka yang masih penuh tanya-tanya.

Begitu sampai di lantai 1, aku langsung keluar dari lift dan berjalan menuju salah satu coffee shop yang letaknya masih di gedung yang sama dengan kantorku.

Begitu memasuki coffee shop tersebut, Mika--salah satu pelayan coffee shop yang sudah mengenaliku dengan baik karena aku pelanggan setia coffee shop ini--langsung tersenyum dan berjalan menghampiriku.

"Hai, Mbak Rika. Spot favoritmu kebetulan masih kosong, tuh." Ujar lelaki tersebut sambil menunjuk ke arah meja yang terletak paling pojok di dekat jendela.

Aku menggeleng. "Engga, Ka. Aku ada temu janji dengan seseorang." Ujarku sambil memandangi seisi kafe, mencari wajah yang hanya kutahu melalui foto.

Pandangan mataku tertuju ke salah satu pengunjung yang juga sedang menatapku. Aku berjalan mendekati meja orang itu dan ingatanku akan wajah Satria semakin menguat.

"Rika, ya?" Tanya orang itu. Aku mengangguk sambil tersenyum. Ia pun tersenyum sambil mengulurkan tangannya. "Kenalkan, saya Satria."

Aku membalas jabatan tangannya dan baru menyadari bahwa tampilan Satria sangat kasual. Setelah basa-basi perkenalan, kami berdua pun duduk.

"Rika mau pesan apa?" Tanya Satria. Aku menunduk memandangi secangkir kopi yang masih terlihat uapnya yang terletak di atas meja. Nampaknya ia juga baru datang.

Aku langsung memanggil Mika untuk memesan secangkir cappuchino serta sepotong blueberry cheesecake.

"Jadi..." ucap Satria begitu Mika meninggalkan meja kami. "...sejujurnya, saya cukup kaget ketika tante saya memperkenalkan kamu kepada saya. Tante sangat bersemangat sekali mengenalkan kamu kepadaku. Yah, mungkin karena faktor umur saya yang sudah hampir kepala 4 sepertinya."

Hah? Kepala 4? Kupikir dia baru berumur 30 tahun. Wajahnya muda sekali!

"Kenapa, Rika? Apakah saya...terlalu tua untukmu?" Tanya Satria sambil menatap mataku dengan penuh kekhawatiran.

Aku menggeleng cepat. "Tidak. Saya pikir Mas Satria seumuran saya." Ucapku jujur sambil menunduk malu.
"Wah, saya jadi malu. Berarti saya awet muda, ya?" Ucap Satria sambil memamerkan deretan giginya yang putih--tidak putih seperti dibleach, tapi minimal terlihat ia bukanlah seorang perokok. Tambahan nilai positif untuk Satria.

Lama kelamaan perbincangan kami berjalan sangat membosankan, hanga sekadar perkenalan masing-masing dan aku sendiri masih menjaga jarak dengan Satria. Untunglah waktu istirahatku sudah habis, sehingga aku tidak usah berlama-lama dengannya.

************************

The Same YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang