"Elo gila!"
Aku hanya memonyongkan bibir begitu mendengar reaksi Akari. Gadis keturunan Jepang itu memang teman curhat tetapku saat masa kuliah. Akari mengetahui hal sedetil apapun terkait perasaanku ke Raka. Dan dia begitu sebal dengan Raka karena Raka dianggapnya tidak pantas aku sukai.
"Iya, gue gila emang. Sejak dia pindah ke kantor gue, gue merasa titik kesabaran gue diuji terus menerus. Gue bahkan jadi engga bisa bedain antara gue cinta atau benci dia, Kar." jelasku sambil memeluk bantal sofaku. Samar-samar wangi Raka terhirup dari bantal yang kupeluk. Entah hanya ilusiku saja namun aku baru ingat bahwa bantal ini ia gunakan saat tertidur di apartemenku. Ugh, bahkan wanginya saja aku masih ingat!
Akari langsung berdiri dan berjalan menuju dapur. Ia langsung kembali dengan membawa gelas kosong dan sekarton susu coklat yang kusimpan di kulkas. Ia menuang susu tersebut ke gelasnya dan langsung meminumnya dengan nikmat. Hidup lama di Indonesia membuat dirinya lebih menyukai susu dibandingkan sake atau bir. Yah, baguslah. I hate all of those drunkers.
"I mean...do you really have to go there? LA? Gosh, don't you ever think that he'll abduct you and rape you?" Ucapnya sembarangan. Aku langsung melotot ke arahnya.
"You perv! He's not that type of guy. Even though I hate him, I know that he's the same person I've ever known." ucapku. Kuhirup dalam-dalam aroma Raka yang masih tertinggal di bantal tetsebut, berkhayal yang tengah kupeluk adalah orangnya sendiri.
Duh, aku kenapa sih...
"Ya terus lo percaya aja gitu lo dibawa ke LA sama dia? Elo engga takut diapa-apain? Kalau ternyata dia dulu anggota mafia gimana? Atau dia ternyata serial killer disana gimana? Gila lo!" cerocos Akari.
"Yang gila pikiran lo, Kar. Seriusan deh lo suuzon banget. Bikin gue takut aja!" ucapku. "Lagipula..."
Aku terdiam. Akari menatapku menanti kata-kataku.
"..gue ngerasa kalau Raka emang berkata jujur. Mungkin ego gue aja yang tinggi. Duh gue berasa remaja labil deh.." ucapku sambil membenamkan kepalaku ke bantal yang kupeluk.
"Emang! Lo lebih labil dari remaja kekinian! Heuh..." gerutunya kesal. "Jadi, lo tetep ke LA?"
Aku tak menjawab, namun kepalaku mengangguk sedikit. Huh, ternyata aku memang labil.
"Well, di satu sisi, gue penasaran dengan apa yang ingin diceritakan Raka. Tapi..." jawabku sambil berpikir. "...gue takut gue mendapati sebuah kenyataan yang nantinya akan membuat gue menderita."
"Like what?" tanya Akari.
"Ya gue bingung juga ngejelasinnya gimana..." jawabku.
Akari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Duh Ka, santai aja. Engga usah jadi drama queen gitu, ah!" ucapnya.
"Mungkin gue kebanyakan nonton cheesy drama yang menye-menye. But seriously Kar, I've loved him for about more than 6 years and when I met him, he belongs to another woman. But he just kept chasing me.." ujarku. "..and I don't wanna become that kind of woman--who steal someone's husband. No. Gue takut kena karma."
Akari menuang kembali susu ke dalam gelasnya. "What if..." ia meminum sebentar susunya sejenak. "..his wife is passed away long time ago?"
Aku tertegun mendengar ucapan Akari. Aku belum kepikiran sampai situ. Benarkah?
*****************************Langit Jakarta malam hari sangat terlihat megah, melambangkan betapa superior kehidupan di Jakarta. Namun begitu melihat ke arah bawah, ternyata kemewahan itu hanyalah sebuah selimut dari penderitaan tak kasat mata.
Aku memandangi pemandangan kota Jakarta dari balkon sembari menghirup angin malam. Untunglah apartemenku berada di lantai 21, sehingga asap kendaraan tidak ikut terhirup. Pemandangan kota Jakarta di malam hari didukung dengan langit yang cerah dan terlihat sinar bintang setitik dua titik. Cukup menyenangkan.