His Dissappearance

23 0 0
                                    

Sejak peristiwa malam itu, aku tidak pernah bertemu Raka lagi. Ia tidak pernah datang ke kantor dan tidak ada yang mengetahui kemana ia pergi. Kemungkinan besar ia kembali ke LA--entah dengan alasan apa. Tapi aku yakin ia kembali kesana untuk menemui istrinya.

Setelah beberapa bulan aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku, aku tetap tidak bisa melupakannya. Aku juga masih tetap berhubungan dengan Satria, tetapi masih hanya sebatas teman. Tak lebih.

Suasana riuh kantin kantor tetap membuatku merasa sepi. Bungkam. Walau Tio dan Wika duduk di depanku masih sibuk bergosip, tapi aku tetap tidak bisa fokus mendengar gosip mereka. Tiba-tiba gosip mereka terhenti dan mereka berdua menatapku.

"Rik, are you okay?" tanya Tio dengan nada cemas. Aku menengadahkan kepalaku dan melihat baik Wika dan Tio tengah memandangiku dengan tatapan cemas. Bahkan Tio yang super konyol bisa terlihat sangat cemas.

"I'm okay. Kalian kenapa, sih, kok jadi berhenti? Go ahead, gue jadi listener aja." ucapku. Wika dan Tio saling berpandangan dan seakan tengah berkomunikasi melalui kontak mata, Tio langsung memandangku.

"Rika...have you heard about him? Raka Adi Prastowo?" ucapnya.

"Kenapa? " tanyaku cuek. Padahal, hati ini terasa tertohok kembali begitu mendengar namanya yang telah lama tak pernah kudengar.

"Dia resign. Gue baru tau tadi pas mau kesini. Dia ngirim email ke atasan dan minta maaf atas ketidakjelasan kabar dia selama beberapa bulan terakhir dan dia minta resign. Tapi dia engga ngutarain kenapa dia pergi tiba-tiba dan minta resign. Tapi gue rasa, sih, dia udah di LA." jelas Tio.

Aku terdiam, menunduk menatapi mangkuk bakso yang sedari tadi kuaduk tanpa kumakan. Aku sudah tahu dari lama bahwa ia memang kembali ke LA saat itu. Tapi aku tak menyangka bahwa ia akan resign.

"Oh, gitu.." responku dengan suara pelan. Aku tak bisa berbicara lagi seakan ada yang menyangkut di tenggorokanku. Mangkuk bakso yang sedari tadi aku pandangi lama-lama terlihat berbayang dan semakin buyar.

Aku langsung berdiri. "Guys, duluan ya." ucapku.

Aku langsung berjalan keluar dari kantin. Langkahku semakin dipercepat dan begitu menemui pintu toilet, aku langsung masuk ke toilet dan masuk ke salah satu kubikel yang letaknya paling dalam.

Aku menutup kloset dan duduk di atas kloset. Aku hanya bisa menunduk terdiam sampai akhirnya air mataku mulai mengalir.

*********
To : Raka A. Prastowo (rakaaprastowo@yahoo.com)
Subject : Hi

Raka,
Apa kabar?
Sudah satu tahun ya...

Raka,
Aku ingin minta maaf. Terakhir kali pertemuan kita, sepertinya aku menyakiti hatimu. I'm so sorry, I don't mean that. I never thought that you'd got mad because of that. I mean, I was recklessly said that to you that I've made you angry at me.

Raka...
You said to me that love conquers all, right?
I always wish that you're standing right in front of my house, begging for coming in like you used to.

And I always wish that you'll kiss me like you used to, hug me tightly like you used to, and love me like you used to.

But a wish is just a wish.

Y'know, I've told you before that loving someone doesn't mean that you can have him entirely.

I know that. I cannot have you.

But...

Can I at least have your reply?

Sincerely,
Rika

SEND

Sudah 10 email yang kukirim kepadanya sejak beberapa hari lalu, namun tiada satu jawaban pun kuterima.

Mataku menatap kosong layar LCD laptop. Aku mengharapkan email balasan darinya namun nihil.

Andai saat itu aku tidak melepasnya. Andai saat itu aku menuruti keinginannya.
Andai saat itu aku tidak sembarangan berbicara tentang istrinya.

Andai saat itu aku tidak usah bertemu dengannya di kampus.......

"Rika..."

Aku menoleh, mendapati Mama tengah berdiri di ambang pintu dengan wajah khawatir. Sejak beberapa hari lalu, aku memilih untuk tinggal di rumah bersama orang tuaku karena aku takut aku akan melakukan tindakan yang tidak-tidak ketika aku sendiri di apartemen.
Mama berjalan ke arahku yang masih duduk. Terlihat mata Mama seperti menahan air mata.

"Rika...kamu belum makan dari kemarin. Ayo makan dulu, Nak. Nanti kamu sakit." ucap Mama sambil memegang bahuku.

Aku tersenyum tipis. "Aku engga lapar, Ma." jawabku.

"Rika, mau sampai kapan kamu begini, Nak?" tanya Mama. "Nanti kamu sakit, Nak."

Aku terdiam memikirkan ucapan penuh khawatir yang Mama ucapkan. Ah, sepertinya aku sudah durhaka karena telah membuat orang tuaku sedih.

Aku mendongak sambil memaksakan tersenyum, "Oke, Ma. Rika mau makan tapi sehabis Rika mandi, ya."

Mama tersenyum sambil mengelus kepalaku. Aku seperti kembali menjadi gadis berumur 10 tahun. Hidup lama di apartemen memang membuatku merindukan masa-masa penuh kasih sayang seperti ini.

Begitu Mama keluar dari kamarku, aku langsung menutup laptopku dan berjalan menuju kamar mandi. Sesaat sebelum masuk ke kamar mandi, aku menatap kalender yang terpasang. Tanggal 23 Mei.

Sudah satu setengah tahun, ya?
**************
Selesai mandi, aku mendapati sosok Satria yang tengah duduk manis di meja makan sembari menikmati teh. Ia menoleh begitu melihat kehadiranku.

Dan aku baru ingat aku hanya mengenakan kaos t-shirt warna pink dengan gambar kelinci di tengahnya serta celana panjang bermotif garis-garis putih-pink. Rambutku basah. Tanpa make up.

"H..hai!" ujarku canggung. "Kok tumben kesini?"

Iya tersenyum. Oke sebenarnya dia ganteng untuk ukuran pria seumuran 40. Tapi akunya saja yang 'buta'. Atau memang aku tak mementingkan tampang? Entah

"Maaf banget dateng mendadak. Niatnya saya pengen ngabarin, cuma takutnya engga surprise hehe.." jawabnya garing. "Hari ini saya ingin ngajak kamu makan malam. Tapi ternyata Tante sudah menyiapkan makan malam katanya."

Aku meringis. "Ngg..makan malam disini aja engga apa-apa, kok. Saya lagi agak enak badan soalnya."

Bohong.

Padahal aku sebenarnya sedang tidak ingin melakukan obrolan hanya berdua saja. Kalau makan di rumah, minimal ada orang tuaku yang ikutan mengobrol. Kalau iseng, Mbok Sum juga suka ikut-ikutan ngobrol. Dan dia memang sering begitu.

Wajah Satria terlihat senang. "Wah, boleh nih? Saya jadi merepotkan nih."

"Engga apa-apa, kok. Anggep aja rumah sendiri." Ucapku sambil berjalan menuju rak gelas dan mengambil air dari dispenser.

"Semoga memang rumah ini menjadi rumahku juga."

Uhuk!

Aku tersedak mendengar ucapannya. Apa?!

"Kamu mau beli rumah ini? Wah tunggu nanti, ya." kilahku sambil mengelap bagian bawah bibirku dengan serbet yang ada di atas meja makan.

Iya hanya tersenyum melihatku. Ugh, tolong jangan melihatku seperti itu!

Baik Satria maupun kedua orang tuaku hanya mengulum senyum.

***************************

The Same YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang