Aku menatap dengan gamang paspor serta tiket pesawat yang kupegang dengan kedua tanganku. Tiket American Airlines tujuan Los Angeles yang kubeli secara mendadak tersebut kugenggam dengan erat. Ya Tuhan, andai satu tiket ini dapat menentukan takdirku, semoga itu merupakan takdir terbaik untukku.
Handphoneku bergetar. Nama Satria terpampang di layar handphone. Satria pasti sudah mengetahui kabar kepergianku dari kedua orang tuaku. Padahal aku sudah sengaja tidak mengabari Satria, tapi nampaknya orang tuaku yang memberitahu perihal kepergianku yang serba mendadak ini.
Aku tekan tombol hijau berlambang telepon itu. "Halo, kenapa Sat?"
"Rika, kamu masih di bandara?" Tanya Satria dengan nada sedikit marah.
Aku kembali memandangi paspor serta tiket American Airlines yang kuselipkan di sela-sela paspor. "Iya, Sat. Ada urusan mendadak dari kantor." Bohong, tentu saja.
"Oh..harusnya kamu mengabari saya. Kamu sudah baca SMS saya, belum?" Ucap Satria masih dengan nada dingin.
Aku teringat kembali akan SMS dari Satria yang belum sempat aku balas. "Ah, sudah. Maaf aku belum sempat balas. Workload lagi banyak banget." Ucapku lagi-lagi berbohong. Padahal SMS itu sudah ada sejak minggu lalu. Namun aku malas untuk membalas. Pagi hari setelah malamnya aku mendapat email dari Cody, aku langsung buru-buru membeli tiket pesawat dan mengurus visa ke kedutaan. Untungnya aku dulu pernah mengurus visa ke USA, sehingga orang kedutaan lebih mempercayai dan mempercepat proses visaku. 3 hari saja visaku sudah selesai. Aku pun buru-buru mengepak pakaianku ke dalam koper besar dan langsung mengurus cuti kantor.
"Well...harusnya kamu bisa kabari saya, jadi saya bisa antar kamu ke bandara." ucap Satria.
Aku menatap jendela kaca besar dengan pemandangan pesawat. Otakku berpikir, sejak kapan aku harus melapor segala sesuatu ke Satria? Memangnya status kami apa, sepasang kekasih? Sepertinya Satria tidak pernah menyatakan bahwa ia cinta atau sayang. Kenapa dia tampak posesif seperti itu? "It's ok, Sat. Aku tadi diantar Pak Paryoto." ucapku.
Satria terdengar mendesah pelan. "Ok. Sampai disana, saya ingin kamu mengabari saya, ya. Saya tidak ingin terjadi apa-apa dengan calon istri saya."
Hah?
Aku terdiam, begitupun dengan Satria. Nampaknya Satria menunggu responku di saat aku juga bingung harus merespon apa. "Sudah dulu, ya. Sebentar lagi aku harus naik ke pesawat. Bye!" Aku langsung menutup telepon tanpa menunggu responnya.
Ya Tuhan...dia serius?
********
Aku berjalan melewati gerbang imigrasi dengan kondisi super kacau. Pikiran rumit akan kondisi Raka ditambah ucapan Satria terakhir kali ia meneleponku ketika aku masih di bandara, ditambah kondisi pinggang yang pegal akibat flight selama sehari lebih ditambah transit.
"Erika!"
Aku tersadar dari lamunan begitu mendengar suara yang tak dikenal memanggil namaku. Aku menengok ke kanan dan kiri untuk mencari sumber suara.
Berdiri di dekat gate kedatangan sesosok bule bertubuh cukup tinggi dengan coat berwarna biru gelap, syal rajut berwarna putih yang melingkari lehernya, celana jins, dengan menenteng messenger bag berwarna hitam. Ia tersenyum ketika pandangan mata kami bertemu. Aku pun berjalan menuju arahnya dengan menggeret koperku. Udara dingin yang menusuk masih terasa menggigit kulitku walau kini aku masih berada di dalam bandara.
"Hi, Erika. I'm Cody, Raka's brother in law. Thank you for your coming." ucap Cody dengan ramah. Tangan Cody terasa begitu dingin ketika aku bersalaman dengannya. How long did he wait for me in here? Gosh...