Potrait

22 0 0
                                    

Aku duduk termenung di samping jendela, menatapi setiap tetes hujan yang turun. Pemandangan perkotaan menjadi salah satu daya tarik apartemen tempatku tinggal karena letaknya yang dekat dengan daerah pusat bisnis serta city-view yang indah di kala siang maupun malam. Namun, aku sama sekali tidak tergugah dengan keindahan itu sekarang ini.

Aku masih mengingat matanya yang berwarna coklat kehitaman layaknya beludru, indah dipandang. Mata itu menatapku penuh dengan cinta...dan juga kerisauan. Aku tidak tahu apakah aku harus bersyukur karena cintaku kepadanya selama ini tidak bertepuk sebelah tangan, atau haruskah aku mengutuk takdir bahwa dia sudah milik orang lain? Ya Tuhan, jalanMu sungguh rumit!

Lantunan lagu Rather Be nya Clean Bandit feat Jess Glynne kembali mengisi kesunyian kamarku. Ini sudah keberapa kalinya ponselku berbunyi namun tak pernah ku angkat. Toh aku sudah tahu sendiri siapa yang menelpon.

Aku baru saja kembali dari Singapura beberapa jam yang lalu. Setelah pernyataan Raka tentang istrinya, aku langsung pulang ke hotelku dengan taksi yang kebetulan sedang lewat dan untungnya saja aku sudah mengepak barang-barangku, sehingga saat itu juga aku kembali ke Jakarta. Toh urusanku sudah selesai di Singapura, jadi aku bisa langsung pergi. Aku tak ingin satu pesawat dengan Raka esoknya, jadi lebih baik aku pulang duluan.

Tapi yang aku bingung...aku siapanya Raka sampai-sampai aku sebegitu kecewanya? Kami bukan sepasang kekasih dan tidak ada ikatan pasti di antara kita, kan?

Tapi kenapa air mata ini mengalir??

****************************

Aku berdiri tepat di depan pintu ruangan divisi tempatku bekerja. Rasanya enggan sekali apabila aku harus bertemu dengan Raka hari ini. Tapi aku tetap harus ke kantor hari ini untuk memberikan laporan terkait pelatihan di Singapura kemarin--dan tentu saja aktivitas pelaporan ini harus kulakukan bersama Raka secara dia merupakan rekanku selama pelatihan disana.

"Heh, bengong aje, neng!" Terdengar suara cempreng dari arah belakangku. Suara cempreng khas Tio.

Aku menoleh dan berusaha untuk tersenyum. "Hai, Yo. Long time no see!" Ucapku garing.

"Yeu. Eh, gimana di Singapur? Ketemu bule ganteng engga?" Ucap Tio dengan tatapan mata jahilnya.

Aku memeletkan lidah. "Engga doyan bule dan engga ketemu bule ganteng juga." Ucapku. Tio pun tersenyum jahil dan tiba-tiba ia membisiku sesuatu.

"Atau lo cinlok ya sama si 'bule palsu' pindahan dari LA?" Bisiknya dengan menekankan pada kata 'bule palsu'. Duh, kenapa harus Raka lagi sih yang harus diungkit?

Aku menggeleng cepat. "Engga, lah. Elo tau sendiri kan gimana perlakuan dia ke gue pas hari pertama dia pindah ke sini. Mana mungkin gue cinlok sama dia." Ujarku sambil membuka kenop pintu yang sedari tadi belum kubuka.

Sebelum Tio bertanya-tanya lebih lanjut, aku langsung menuju kubikelku, meletakkan tasku, dan segera menuju toilet. Tidak mungkin kan Tio bisa mengikutiku sampai ke toilet?

Aku berjalan cepat menyusuri lorong kantorku dan sepertinya aku membenci suatu kebetulan yang menghampiriku.

Sosok dengan tinggi 180 cm, kemeja warna biru muda, dasi berwarna biru tua garis putih, kacamata bingkai hitam, serta wajahnya yang putih bersih dengan paduan panca indera yang sempurna...dan oh bibirnya, bibir yang pernah mengecup bibirku dengan lembut di bawah kanopi restoran di tengah hujan deras. Momen yang cukup romantis, apabila ia tidak mengatakan bahwa ia sudah memiliki istri.

Ia sudah menyadari sosokku yang tengah berjalan ke arahnya--lebih tepatnya ke arah pintu toilet yang berada persis di sampingnya.

"Rika..."

Aku menghentikan langkahku sejenak, menengadahkan kepalaku sambil memaksakan tersenyum. "Selamat pagi." Ucapku. Buru-buru aku langsung membuka pintu toilet dan menutupnya kembali sebelum ia sempat memgeluarkan sepatah kata lagi.

Dan saat itu aku baru menyadari bahwa mataku terasa sangat panas.

******************************

Selama beberapa hari aku kembali berhasil menjadi 'ninja'. Setelah memberikan laporan kepada si atasan tentang training di Singapura bersama dengan Raka, aku pun berhasil menghindar dari Raka. Sudah dua kali aku berhasil menghindarinya, dan semoga kali ini terus berjalan, sampai aku bisa melupakan perasaanku terhadapnya.

Iringan Rather Be kembali melantun memecah keheningan di kamar apartemenku. Sedikit khawatir kalau kalau Raka yang menelepon, namun untunglah ketakutanku tidak jadi kenyataan. Foto Mama terpampang di caller display.

"Hallo, Ma." Jawabku sambil berjalan menuju sofa dan menghempaskan tubuhku ke atas sofa.

"Rika, kamu sekarang dimana? Mama mau nengok kamu di apartemen kamu." Ucap Mama.

Aku melirik ke sekeliling kamarku. Cukup rapi di mataku, tapi tidak di mata Mama yang super rapi dan perfeksionis. Pasti aku akan dikomentar lagi masalah kerapihan.

"Dadakan bener, Ma. Kenapa engga kabarin Rika dari kemarin?" Tanyaku sembari kembali berdiri untuk membereskan buku-buku novel yang sengaja aku letakkan di atas meja sehingga aku tidak perlu susah-susah mengambilnya di rak buku.

"Mama pengen ngomong sesuatu sama kamu, penting banget engga bisa ditunda. Mama sekarang lagi di jalan, kira-kira 15 menit lagi sampai."

"Oke, Ma." Jawabku. Telepon pun langsung terputus. Dan aku masih sibuk menyusun buku-buku novelku di rak buku, namun ketika aku tengah memasukkan buku tersebut ke dalam susunan rak, sepertinya ada sesuatu yang mengganjal. Aku tarik kembali buku tersebut dan menarik sesuatu yang mengganjal tersebut.

Aku mendapati sebuah buku agenda lama berwarna biru toska yang sudah berdebu. Kubuka buku agenda yang tersebut dan aku baru sadar itu buku agenda saat aku masih kuliah. Banyak coretan catatan to-do-list pada setiap tanggal di atas kertas yang sudah agak menguning. Hhh, aku memang tidak pandai menyimpan barang lama. Tapi toh agenda ini memang sudah tidak terpakai lagi. Kenapa masih kusimpan?

Aku membalikkan halaman per halaman, sedikit bernostalgia dengan masa kuliahku dulu, dan tertawa membaca komentar-komentar yang sengaja dituliskan sahabat-sahabatku di kampus.

Begitu sampai di halaman terakhir, aku merasakan kertas yang kupegang sedikit agak tebal. Begitu aku membalikkan halaman terakhir agendaku, terdapat satu lembar foto polaroid yang kutempelkan di halaman terakhir.

Aku baru menyadari betapa aku mencintai Raka sejak dulu, sampai-sampai foto polaroid aku dan Raka berdua ku tempelkan di halaman agendaku. Jadi ini alasan mengapa aku masih tetap menyimpan agenda ini.

Foto itu diambil saat kami sudah selesai melaksanakan kegiatan kepanitiaan. Muka lelah terpampang di wajah kami berdua namun senyum bangga tetap mengembang di wajah kami berdua.

Raka, dengan sosoknya yang masih nerd tanpa embel-embel Rolex di pergelangan tangannya ataupun jas Hugo Boss terlihat sangat mempesona. Ia melipat kedua tangannya di depan dada dengan senyum khasnya, sedangkan aku mengacungkan jempolku ke hadapan kamera.

Ternyata lebih baik bertepuk sebelah tangan dalam kurun waktu yang lama dibandingkan harus mengetahui kenyataan bahwa orang yang kamu cintai mencintai kamu tapi kalian tidak bisa bersatu.

The Same YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang