Part 3

6.3K 505 7
                                    

Hari berikutnya adalah hari pertamaku bekerja dengan Dokter Adriel. Seperti dugaanku, Dokter Adriel, selain gagah dan berwibawa, juga adalah dokter yang pintar. Diagnosisnya tepat dan lugas. Aku sungguh menginginkan kalau saja aku yang di posisinya. Menjadi dokter, sungguh impian yang sempurna. Namun sayang, "karunia" yang kumiliki justru telah merebut semua impianku sejak kecil. Tidak apa-apa, sih. Yang penting sekarang aku berkonsentrasi dengan kemampuanku ini dan mencoba mengembangkannya.

"Suster, tolong ambilkan obatnya," perintah Dokter Adriel tiba-tiba, memecah lamunanku.

"Segera, Dok," jawabku.

Pekerjaan seorang asisten dokter cukup melelahkan sehingga aku tidak sadar bahwa jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Memang seperti inilah jam kerja baru yang ditentukan bagiku. Perutku sudah keroncongan. Pasien memang agak banyak hari ini. Dan tiga di antaranya akan meninggal esok hari.

"Oke, pekerjaan selesai, Suster," ujar Dokter Adriel sambil menghembuskan napas lega. Ia melepas jas putihnya dan menggantungnya di balik pintu kantor.

Oh ya, aku lupa memberitahukan bahwa aku juga punya "kantor baru". Kantor Dokter Adriel tentunya, namun sekaligus susternya.

"Apa kau lapar?" Tanya Dokter Adriel.

"Hah?" ujarku kaget.

Aku tidak menyangka ia mengatakan hal-hal di luar "kedokteran". Lucu sih, soalnya sepanjang hari ini ia selalu mengatakan hal-hal kedokteran dan pekerjaan kepadaku.

"Ya, apa kau lapar? Aku lapar, mau cari makan. Mau ikut?"

"Bagaimana ya, Dok..." aku berpikir keras. Apa ikut makan dengan seorang dokter ganteng akan membawa kerugian besar bagiku?

"Jangan panggil aku Dok di luar jam kerja," Adriel tertawa. Tawa khas yang mempesona, "panggil Adriel aja."

"Yah, baiklah Dok... eh, maksudku Adriel. Kupikir perutku juga sudah menjerit kelaparan..."

***

"Kemana aja sih? Ditelpon nggak bisa, di SMS nggak dibales??" Edwin sudah marah-marah kepadaku lewat telpon, ketika aku baru saja pulang ke rumah, diantar mobilnya Adriel.

"Aduh sayang, maklum dong, aku baru saja pulang kerja," jawabku.

"Apa? Pulang kerja tengah malam begini?"

"Yah, sebenarnya sudah sejak jam sepuluh tadi," ujarku pelan-pelan, "tapi diajak makan oleh Dokter Adriel..."

"Ternyata benar dugaanku. Pasti kau pergi dengan dokter itu," gumam Edwin.

"Yah, kan Cuma makan malam..."

"Pertama makan malam, lalu selanjutnya apa?"

"Sudahlah, kau seperti anak kecil saja!" ujarku kesal.

"Apa? Kau jelas-jelas membuatku kesal!"

"Aku tidak peduli, sekarang aku hanya berkonsentrasi pada pekerjaanku," bentakku.

"Baiklah kalau sekarang pekerjaan itu lebih penting buatmu, lebih baik kau urus saja pekerjaanmu!" Edwin dengan kasar menutup sambungan telepon, BRAKK!! Membuatku terlonjak kaget. Kenapa sih dia harus semarah itu? Ini bukan sesuatu yang harus dibesar-besarkan, menurutku. Toh aku hanya pergi makan malam! Aku memutuskan untuk mendiamkan saja ulah Edwin dan berharap ia akan membaik pada esok harinya.

DEATH ANGEL 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang