Aku memegang alamat itu dan melihat ke gedung tua di depanku yang bertuliskan Klinik Harapan Hidup. Bangunan itu tampak tua dan tak terawat. Aku melangkahkan kakiku memasuki bangunan itu. Aku tidak melihat seorangpun yang sedang mengantri untuk berobat. Hanya ada sebuah meja resepsionis kecil yang dijaga oleh seorang wanita setengah baya. Aku menduga wanita itu adalah suster di klinik itu, namun ia tidak mengenakan seragam suster, hanya kemeja putih dengan bawahan hitam Panjang.
"Se... Selamat siang," sapaku pada wanita itu.
"Ya," jawab wanita itu singkat, tanpa senyum, "Silakan duduk, aku akan cek tekanan darahmu."
"Ehm, sebenarnya aku tidak ingin berobat Aku ingin mencari seseorang," jawabku cepat sebelum wanita itu meraih tanganku untuk ditensi.
"Siapa?" tanyanya ketus.
"Dokter Adriel... Apakah dia berpraktek di sini?"
"Tidak ada yang bernama Adriel di sini," jawab wanita itu dingin.
"Ehm, kalua begitu boleh saya tahu siapa dokter yang berpraktek di sini?"
Sebelum wanita itu sempat menjawab, pintu di depanku tiba-tiba terbuka.
"Suster, saya ingin bertanya tentang data pasien" Aku terbelalak kaget, demikian juga dengan orang yang baru keluar dari pintu itu.
"Kamu??" seru Laras bingung, "yang di pesawat tadi kan?"
Aku ternganga, tak mampu berkata apapun. Laras mengenakan jubah dokter. Ternyata ia pergi ke Klinik Harapan Hidup karena ia adalah dokter di sini! Bukannya Adriel??
"Ja... Jadi Anda adalah dokter di sini?" tanyaku bingung.
"Ya, benar, aku dokter di sini. Tadi aku baru pulang dari konferensi di kota lain," jawab Laras, "Ah, maag namamu siapa yah tadi? Aku agak lupa"
"Namaku Yani," ujarku, "Sebenarnya aku kesini mencari seseorang Apakah kau mengenal seseorang bernama Adriel?"
"Adriel? Ehmmm" Laras tampak berpikir Panjang, "Seingatku tidak."
"Dia seorang dokter" jelasku, "Aku pikir dia praktek di sini?"
"Setahuku hanya aku saja dokter di sini," jawab Laras, "Maaf sekali aku tidak dapat membantu."
Aku terdiam. Apa-apaan ini? Apakah Edwin membohongiku? Atau jangan-jangan Laras yang menyembunyikan sesuatu dariku?
"Kalau begitu, aku pamit dulu," ujarku, "Maaf sudah mengganggu waktunya"
"Oke Suster Yani, selamat jalan, hati-hati," ujar Laras sambil tersenyum. Aku tersenyum dan keluar dari Klinik itu.
***
Karena sudah jauh-jauh kesitu dan tidak mungkin langsung pulang, aku memutuskan untuk menyewa penginapan tidak jauh dari Klinik. Sambil menyeruput es kopi yang kubeli di kedai dekat situ, aku memikirkan Adriel. Di mana Adriel sekarang? Dan mengapa Edwin memberiku alamat yang salah?
Aku menggigit donat yang juga kubeli. Jika menggigit donat, aku tidak bisa tidak mengingat Edwin. Ia sering membawakanku donat, snack yang paling kusukai. Aku tersenyum sendiri. Apakah aku benar-benar sudah tidak ada perasaan pada Edwin? Namun bagaimana dengan Adriel? Jika aku tidak ada perasaan pada Adriel, aku tidak mungkin melangkah sejauh ini.
Pikiranku melayang kepada Laras. Apakah seperti dugaanku, dia adalah malaikat kehidupan? Atau kejadian di pesawat itu hanya kebetulan?
Tapi, tunggu... Waktu aku berpamitan dia memanggilku "Suster Yuni"? Darimana ia tahu bahwa aku seorang suster? Aku buru-buru menyambar tasku dan berlari keluar penginapan, menuju ke Klinik Harapan Hidup. Ada sesuatu yang tidak beres dengan Laras...
KAMU SEDANG MEMBACA
DEATH ANGEL 2
ParanormalYuni, seorang suster yang memiliki kemampuan mendeteksi kematian seseorang, memutuskan untuk menjalin hubungan dengam Edwin, mantan pasien kanker yang telah sembuh total. Bersama Edwin, yang juga memiliki kemampuan yang sama dengannya, Yuni berusaha...