Part 8

5.6K 466 6
                                    

"Menurutmu apa yang seharusnya kita lakukan?" tanyaku pada Edwin.

"Apa yah... berhenti jadi asistennya dan pertajam kemampuanmu?" balas Edwin senang.

"Bukan, Win... Aku merasa kita harus menyadarkan Adriel dengan kemampuannya itu," ujarku serius.

Edwin menghela napas.
"Untuk apa? Supaya dia bisa sombong?"

"Bukan, Win, maksudku supaya..." ucapanku terhenti. Supaya apa ya? Aku sendiri tak tahu sebabnya, aku hanya ingin Adriel tahu.

"Kau sangat memperhatikannya," gumam Edwin kesal.

"Win, aku bukan bermaksud seperti itu, tapi..." aku terdiam, "Adriel harus tahu posisinya... Ia juga tidak mungkin menjadi dokter."

"Lha kalau ia jadi dokter sih tidak masalah. Jangan sampai kita berdua yang jadi dokter," Edwin terkekeh.

"Win, coba kamu pikirkan... Jika Adriel terus-terusan menangani kasus tanpa kematian, dokter-dokter lain akan curiga. Sepandai-pandainya dokter, pasti pernah menangani kasus kematian. Tapi apa yang dilakukan Adriel seperti mujizat! Aku kuatir jika dia tidak mengetahui kemampuannya ini, ia akan dijadikan fenomena. Orang yang memiliki kemampuan seperti kita harus hidup tersembunyi, dan sama sekali tidak ada yang boleh menjadi dokter."

"Aku setuju," di luar dugaanku Edwin menjawab, "perannya sebagai dokter akan menimbulkan ketidakadilan bagi sang pasien..."

"Kenapa?" tanyaku kaget. Edwin menghela napas panjang.

"Setahuku, tidak ada kemampuan yang sempurna. Begitu juga kemampuan kita, dan Adriel sendiri. Ia adalah Malaikat Pelindung Kehidupan, namun takdir tetap adalah penguasa utama dari kehidupan. Sekalipun orang-orang itu tidak jadi mati karena penyakit, dapat dipastikan tidak lama lagi mereka akan meninggal karena hal lain. Ini bisa jadi tidak adil bagi orang-orang itu. Juga tidak adil bagi takdir! Kemampuan Adriel berbeda dengan kemampuan kita. Tugas kita mendiagnosa, tapi tugas Adriel adalah bertindak! Kau benar, sayang. Adriel juga harus mundur dari profesinya," putus Edwin, "kita harus memberitahunya."

***

"Dokter Adriel, inilah kenyataannya," ujarku tegas. Adriel masih tetap tertawa, sama seperti saat aku dan Edwin menjelaskan padanya tentang kemampuan kami, dan dia.

"Kalian sudah gila, ayolah! Tidak ada yang seperti itu. Kalaupun aku selalu berhasil, itu keberuntunganku, sama sekali tidak ada unsur mistis di dalamnya," sanggah Adriel.

"Kalau kau tidak percaya, mari kita buktikan!" seru Edwin, "bapak itu." Ia menunjuk seorang bapak yang berjalan di lorong Rumah Sakit.

"Ia adalah Pak Rano, sakitnya radang usus. Sebentar lagi pasti akan sembuh," ujar Adriel tenang.

"Kau salah. Dia akan mati. Lima, empat, tiga, dua, satu!" Tiba-tiba bapak itu rebah begitu saja di lorong Rumah Sakit, membuat aku dan Adriel harus langsung berlari untuk menanganinya. Namun terlambat. Ia memang sudah meninggal. Tepat seperti perkataan Edwin.

"Kau membunuhnya!" bisik Adriel, "kalian... kalian monster!"

"Adriel, kau salah. Kami tidak membunuhnya, justru kami hanya mendiagnosa saat kematiannya," aku membela diri.

"Ba... bagaimana bisa hal ini terjadi??" Adriel kelihatan shock. Ia menggosok kedua pipinya dengan telapak tangan, "aku tidak percaya!"

"Adriel, sekarang kau lihat pasien itu," ujar Edwin, "ia masih hidup, itu karena kamu. Harusnya, menurut diagnosa kami dia sudah mati kemarin."

Adriel masih diam. Tangannya menutupi wajahnya. Ia kelihatan benar-benar tak percaya.

"Adriel," aku menyentuh bahu Adriel, "kau harus berhenti jadi dokter."

"Tidak!" serunya, "hidupku adalah menjadi dokter! Aku tidak bisa berhenti! Aku tidak akan!"

"Seandainya kau tahu bahwa itu juga yang kami katakan sebelum mengetahui kemampuan ini," gumam Edwin, "tapi kalau kau mau menyelamatkan dirimu sendiri dan pasienmu, berhentilah. Demi takdir, berhentilah!"

"Tidak!" jerit Adriel lalu ia berlari meninggalkan kami berdua. Aku agak khawatir melihat Adriel. Pasti ini adalah hal yang sangat mengejutkannya... Edwin mengangkat bahu.

"Sindrom shock pertama kali. Dulu aku juga begitu. Nanti dia akan baik sendiri," ujar Edwin sambil merangkul bahuku, "jangan khawatir!"

DEATH ANGEL 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang