Part 2

7K 568 3
                                    

Seperti biasa, esok harinya aku bekerja di Rumah Sakit. Sengaja minta waktu lembur untuk iseng-iseng mendiagnosa kematian orang. Jadi aku bakal pulang malam. Seperti biasa jika aku lembur, Edwin tidak akan muncul dan akan muncul esok harinya. Soalnya Edwin tahu alasanku lembur, yaitu mengembangkan kemampuanku, dan ia tidak ingin menggangguku dengan asumsi-asumsinya mengenai kematian. (biasanya ia tidak tahan memberitahukan nama-nama orang yang akan meninggal kepadaku dan kadang aku agak kesal). Tiba-tiba ketika aku sedang iseng memperhatikan seorang anak muda yang tertatih-tatih dengan kuk dan kaki digips, aku dipanggil oleh Dokter Rani, dokter yang selama ini menjadi dokter yang kukagumi. Soalnya cita-citaku sebagai dokter tidak pernah terwujud, jadi aku selalu senang melihat dokter-dokter di sekelilingku.

"Suster Yani, kenalkan, ini dokter Adriel," ujar Dokter Rani ramah. Seperti biasa, senyumnya manis seperti artis barat Jennifer Love Hewitt. Di sebelahnya berdiri seorang dokter gagah yang belum pernah kukenal.

"Adriel," ujar pria gagah itu dengan suara tenor yang lembut. Tangannya yang besar menggenggam tanganku kuat-kuat dan matanya yang hitam tajam menatap mataku dengan seksama.

"Yani," jawabku sambil tersenyum. Dokter itu sangat gagah. Tinggi dan berkulit putih, sangat rapi di balik jas dokter dan kemeja cokelatnya. Rambutnya yang terurai sebahu membuatnya tampak sangat macho.

"Suster, Dokter Adriel adalah dokter yang baru saja dipekerjakan di Rumah Sakit kita. Dia lulusan dari Amerika," jelas Dokter Rani. Dokter Adriel tersenyum, menampakkan lesung pipi yang mempesona, namun matanya tetap memandangiku. Tajam dan seksama. Apa sih yang dilihatnya?

"Dokter Adriel, saya pikir Suster Yani adalah suster terbaik yang bisa menemani masa praktek pertama dokter di Rumah Sakit ini," ujar Dokter Rani tegas, "ia asisten yang baik."

"Tunggu... asisten... dokter?" tanyaku heran.

Perasaan selama ini aku adalah resepsionis dan hanya baru-baru ini aku kerja lembur sambil mengecek obat pasien. Sama sekali tidak ada dalam pikiranku bahwa aku akan menjadi suster asisten dokter. Seharusnya suster-suster yang lebih berpengalaman lah yang ditaruh di posisi itu.

"Ya, memangnya kau tidak mau posisi itu?" Tanya Dokter Rani heran.

"Oh, tentu tidak, Dok. Saya sangat senang menemani Dokter Adriel," jawabku sambil tersenyum. Namun aku mulai merasa tidak nyaman karena Dokter Adriel terus memandangiku.

"Terima kasih. Lalu bagaimana pendapat Anda, Dokter Adriel?" Tanya Dokter Rani. Dokter Adriel seperti kaget dengan pertanyaan Dokter Rani, langsung mengalihkan pandangannya dariku.

"Eh, oh, ya, saya sangat senang dengan keputusan ini. Terima kasih atas kesediaan Anda, Suster Yani," ujarnya berwibawa.

Wah... mimpi apa aku semalam? Menjadi asisten dokter muda yang ganteng? Hm... mungkin ini adalah impian setiap suster. Dan beginilah reaksi Edwin ketika kuceritakan hal itu padanya:

"Biasa aja," ujar Edwin malas.

"Maksudmu? Ini kesempatan bagus, tahu. Dengan menjadi asisten dokter, aku bisa semakin mempertajam diagnosaku. Takkan lagi terjadi kesalahan," ujarku tersinggung atas reaksi Edwin yang malas-malasan.

"Ah, bilang saja kau senang karena dokternya ganteng."

"Apa? Gila aja," bantahku, "kau kan tahu aku ini tipe orang setia."

"Masa sih?"

"Edwin, kan sudah kubilang, kau pacar pertamaku dan kita memiliki banyak kesamaan. Aku tidak berpikir mencari orang lain di hidupku ini. Memiliki kau sudah cukup sempurna bagiku," ujarku panjang lebar.

"Yeah," Edwin mendengus, "semoga saja itu benar."

DEATH ANGEL 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang