Malam harinya, seperti biasa, semua kegiatan berhenti pukul sepuluh malam. Namun aku dan Adriel harus mengamati satu pasien yang agak muram malam ini, sehingga kami baru kelar jam setengah sebelas malam. Aku sudah bisa membaca kematian pasien itu, namun kali ini aku tidak dengan mudah percaya dengan kemampuanku sendiri.
Ketika aku hendak berjalan pulang, Adriel menghentikanku.
"Yun, aku lapar. Mau ikut cari makan?" tanyanya.
"Kayaknya aku masih kenyang deh," bohongku, mengingat hanya sepotong donat kecil pemberian Edwin yang masuk ke perutku sepanjang malam ini.
"Yun, aku mohon. Aku ingin bicara sama kamu. Penting."
Alhasil, di sinilah kami. Di sebuah restoran bernuansa romantis di tengah kota. Semilir angin menerbangkan rambutku pelan-pelan karena restoran itu memang terletak di taman terbuka, menambah suasana romantic malam itu. Aku bergidik. Tidak dapat menebak apa yang ingin dikatakan Dokter Adriel.
"Yun, aku ingin bicara denganmu..."
"Ya, silahkan saja," ujarku, berusaha tidak terdengar gugup.
"Sejak pertama bertemu denganmu, aku... aku sangat tertarik padamu. Dan seiring berjalannya waktu... selama satu bulan penuh kita bekerja bersama... aku menyadari sesuatu... Aku telah jatuh cinta padamu." DEG. Kalimat terakhir itu seakan membuat jantungku melompat keluar dari dadaku. Cinta?
"Namun siang tadi aku baru tahu. Kau sudah ada yang memiliki," Adriel tersenyum masam, "apa boleh buat. Yang penting aku sudah mengungkapkannya padamu."
"Lalu apa yang kau ingin aku katakan?" tanyaku.
"Kau tidak perlu berkata apa-apa. Aku hanya lega setelah mengatakan semuanya..."
Malam itu aku tidak bisa tidur. Bayangan Dokter Adriel dan pengakuan cintanya... Edwin yang tersenyum padaku... bayangan mereka silih berganti di otakku. Untunglah sekitar jam dua pagi aku sempat tidur sebentar sebelum tepat jam tiga handphoneku berbunyi nyaring. Edwin.
"Halo," jawabku lemah. Masih belum sadar sepenuhnya.
"Yun, aku ingin bicara denganmu."
"Besok pagi aja ya, Sayang, please? Aku lagi capek," mohonku.
"Ini nggak bisa ditunda, Yun. Ini tentang... tentang Dokter Adriel," kata terakhir Edwin membuat aku langsung duduk tegak di tempat tidur. Edwin sudah tahu??
"Dokter Adriel?" tanyaku heran. Oh Tuhan... bagaimana Edwin bisa tahu?
"Ya, sepanjang malam ini aku berpikir dan berpikir... aku merasa nggak asing sama Adriel... dan malam ini akhirnya aku inget. Aku pernah ketemu Adriel di Rumah Sakit lain. Dan di situ aku tahu kalau dia bukan dokter biasa..."
"Maksudmu?"
"Adriel... punya kemampuan juga. Namun kemampuannya bukan seperti kita mendeteksi kematian... Justru sebaliknya. Adriel adalah... Malaikat Pelindung Kehidupan."
"Malaikat Pelindung Kehidupan?" tanyaku setengah berteriak.
"Ya, ini semua menjadi jelas. Kamu bekerja dengannya, itu sebabnya kemampuanmu seperti nggak berjalan. Padahal yang terjadi justru Dokter Adriel lah yang menutupi diagnosamu. Setiap pasien yang ditanganinya tidak akan ada yang meninggal. Itu sudah takdir dari kemampuannya. Sekuat apapun penyakit mereka dan sekuat apapun diagnose kita terhadap kematian mereka, mereka tidak akan mati jika ditangani oleh Dokter Adriel... karena ia adalah Malaikat Pelindung Kehidupan."
"Win, kamu gila ya? Ini udah malem dan aku nggak siap mendengar semua ilusi ini," ujarku kesal.
"Yuni sayang aku nggak sedang bercanda... Adriel Winanto, tepat seperti tiga tahun lalu... Malaikat Pelindung Kehidupan."
Kepalaku seperti dikocok dalam mixer setelah Edwin menutup telponnya... Aku dan pacarku adalah jagoan mendeteksi kematian, Malaikat Kematian, sedangkan Adriel, yang baru saja menyatakan cintanya padaku adalah Malaikat Pelindung Kehidupan?
KAMU SEDANG MEMBACA
DEATH ANGEL 2
ParanormalYuni, seorang suster yang memiliki kemampuan mendeteksi kematian seseorang, memutuskan untuk menjalin hubungan dengam Edwin, mantan pasien kanker yang telah sembuh total. Bersama Edwin, yang juga memiliki kemampuan yang sama dengannya, Yuni berusaha...