Part 5

5.8K 485 12
                                    

Coffee Shop, pukul 22.10...

"Jadi menurutmu gara-gara kita bertengkar, itu ada hubungannya dengan kemampuanmu?" Tanya Edwin setengah heran. Ia melepas sendok kopinya sehingga berdenting ke atas meja.

"Ya, habisnya, sudah lima pasien gagal kudiagnosa. Mereka sembuh, bukannya meninggal," ujarku tak bersemangat.

"Tapi aku nggak tuh," ujar Edwin, "waktu tengkar sama kamu, aku tetap bisa mendiagnosa kematian orang dengan benar."

"Hmm, aku malah jadi lebih bingung sekarang. Kenapa aku nggak bisa lagi meramalkan kematian dengan benar? Apa ada yang salah denganku?" aku bergumam heran.

"Sayang, tidak ada yang salah dan semuanya akan baik-baik saja. Kita tinggal menunggu esok hari saja, oke?" ujar Edwin tenang.

Entah mengapa ucapannya itu membuatku sedikit tenang. Namun untuk menjawab degupan jantung kekhawatiranku itu, aku tahu bahwa aku harus menunggu sampai esok pagi.

Nihil. Sekali lagi aku gagal mendiagnosa kematian. Hari ini pun, setelah aku berbaikan dengan Edwin pun, aku tetap gagal mendiagnosa kematian. Bu Ninik, pasien kamar 12, tidak jadi meninggal karena kanker usus hari ini. Dengan frustrasi aku melempar tubuhku ke atas tempat dudukku di kantor. Bagaimana ini semua bisa terjadi? Apa kemampuanku sudah benar-benar hilang? Mengapa? Mengapa di saat aku justru mengharapkan kemampuan itu, kemampuan itu malah menghilang? Tanpa kusadari, ada sepasang mata indah yang sedang mengawasi gerak-gerikku...

"Ehem..." suara deheman membuyarkan lamunanku.

"Eh, dokter, maksudku... Adriel," ujarku malu. Ketahuan melamun.

"Kenapa? Kok bengong? Nanti dirasuk hantu lho," ujarnya iseng. Ia ikut duduk di sebelahku, menatap mataku dengan matanya yang hitam dan tajam.

"Nggak, nggak papa kok..." jawabku parau. Kurasa tidak seorangpun bisa kuajak curhat soal ini kecuali Edwin. Tidak juga atasanku sendiri, Adriel.

"Jangan terlalu stress, ya. Aku juga nggak mau kamu terbeban dengan pekerjaan ini. Aku sadar ini semua baru buat kamu," ujar Adriel tenang, matanya memancarkan beribu perhatian yang membuatku tersipu malu.

"Terima kasih," hanya itu yang mampu kuucapkan.

"Aku harap kamu tahu," bisik Adriel, "aku selalu memperhatikanmu."

"Ehm, kurasa aku ada sedikit urusan dengan pasien kamar 12," ujarku cepat, "saya pamit."

Jujur, perkataan Dokter Adriel membuat hatiku agak berdesir. Cowok seganteng itu memperhatikan aku? Hanya aku? Itu aneh. Dan itu ancaman. Aku sudah memiliki Edwin dan itu sudah cukup. AKu tidak ingin yang lain lagi. Untuk menyingkirkan rasa bersalahku, aku tidak muncul-muncul lagi di hadapan Adriel sepanjang hari itu. Kebetulan tidak ada operasi yang berarti hari ini. Tidak butuh asisten yang menemani.

Ketika jam menunjukkan jam lima sore, hati kecilku bersorak. Sosok yang kuharapkan muncul. Edwin.

"Hai, sayang," ujarnya ceria. Ia mengeluarkan satu bungkus kue donat dan menyodorkannya padaku, "untuk suster yang paling special di Rumah Sakit ini."

"Thanks," ujarku malu.

"Bagaimana kabar Rumah Sakit? Pasien mana yang meninggal?"

"Aku salah lagi," kataku sambil menggeleng, "kali ini aku yakin ada yang berubah. Kemampuanku sudah hilang."

"Tidak mungkin hilang begitu saja," gumam Edwin, "sudahlah. Aku nggak ingin membuatmu lebih kepikiran. Tapi ngomong-ngomong..."

"Suster, saya butuh bantuanmu," tiba-tiba sebuah suara memecah percakapanku dengan Edwin. Ternyata Adriel. Datang memanggil untuk bantuanku.

"Segera datang, Dokter," ujarku gugup, memandang Edwin, memberi isyarat bahwa aku harus segera pergi. Namun Edwin seakan tidak mempedulikan isyaratku.

"Hai, aku Edwin," ujar Edwin lugas, dengan gayanya yang cuek, menyodorkan tangan di depan Adriel, "pacarnya Yuni". Adriel tampak agak kaget, namun dengan cepat ekspresinya berubah biasa dan tenang.

"Aku Adriel. Dokter di sini. Yuni asistenku," ujar Adriel tak mau kalah.

"Ehm, oke, rasanya aku dan Dokter Adriel harus melanjutkan pekerjaan kami jadi..."

"Oke, aku mengerti. Dah, sayang, sampai nanti," ujar Edwin, ceria, namun matanya dingin. Tetap menatap Adriel lekat-lekat, seakan mau memangsanya...

DEATH ANGEL 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang