Part 17

979 96 8
                                    

"Aku harus mengakhiri semua ini!" bisik Adriel sambil mengacungkan pisau itu padaku.

"HITUNG, YANNN!!!" jerit Edwin. Ia masih berusaha menghindari serangan Laras yang bertubi-tubi.

"Dri, aku benar-benar sayang sama kamu, tapi teganya kamu melakukan ini," isakku, "Baik, bunuhlah aku jika itu yang kau mau!!"

"Kuberi kau kesempatan untuk menghitung mundur Begitu angka nol, aku akan mati," ujar Adriel.

"Tidak akan!" geramku, "Lebih baik aku yang mati di tanganmu!"

"Baik jika itu maumu," bisik Adriel.

Adriel maju selangkah, mengacungkan pisaunya. Aku diam, pasrah. Biarlah Kalau memang takdirku harus mati di tangan orang yang kusayangi

Adriel maju lagi, kali ini dengan Gerakan cepat. Aku memejamkan mata.

"YANIIII!!!" jerit Edwin, "TIDAKK!!"

Kutunggu satu detik, dua detik Namun tidak ada yang terjadi. Aku membuka mataku.

"ADRIELL!!!" seruku. Adriel sudah bersimbah darah di depanku, ia tidak menusukkan pisau itu padaku, melainkan ke dirinya sendiri.

"DRIII!!!" jeritku sambil memegangi tubuh Adriel yang sudah terjatuh di tanah.

Laras berhenti mengejar Edwin. Ia terbelalak melihat kakaknya sudah bersimbah darah. Saat Laras sedang tidak memperhatikan itulah, Edwin merebut pisau Laras dan membuangnya.

"BERTAHANLAH, DRI!!" jeritku.

"Aku akan menyembuhkannya," ujar Laras, lalu berlari ke arah Adriel.

"Lima, empat tiga dua satu!!" seru Edwin. Sebelum Laras sampai ke tempat aku dan Adriel, Laras ambruk. Tidak bergerak lagi.

"Win, apa yang kamu lakukan??" seruku kaget.

"Aku melakukan apa yang harus aku lakukan, Yan," ujar Edwin, "Begitu juga kamu."

"Tidak! Aku harus membawa Adriel ke rumah sakit. Bertahanlah, Dri!!" seruku sambil menekan luka di perut Adriel. Adriel menahan tanganku.

"Yan..." bisik Adriel, "Waktuku tidak banyak lagi. Bisakah kau di sini saja menemaniku?"

Aku terpekur. Edwin membalikkan badan dan menjauh, seakan memberiku ruang untuk berdua dengan Adriel di saat-saat terakhirnya.

Aku menggenggam tangan Adriel dan mengangguk.

"Sayang sekali... Takdir tidak mengizinkan kita bersama," bisik Adriel.

"Bodoh, kenapa kau lakukan hal ini!!" tangisku, "Jangan pergi, Dri!"

"Jika aku tidak melakukan hal ini Kaulah yang harus ada di tempatku... Dan aku tidak mau hal itu terjadi," Adriel terbatuk, "Aku menyayangimu, Yan Sungguh."

"Aku juga Dri!" bisikku sambil mengecup keningnya. Airmataku mengalir deras.

"Itulah yang ingin kudengar," bisik Adriel, "Sekarang... Hitunglah"

"TIDAAKKK!!" jeritku. Namun aku tahu, sebagai malaikat kematian, bahwa ajal sudah menjemput Adriel.

"Lima... Empat... Tiga... Dua... Sa..." Aku terisak. Adriel tergolek lemas. Ia sudah tidak bernyawa

DEATH ANGEL 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang