Aku duduk di kursi pesawat dengan gugup. Ini kali pertama aku bepergian jauh sendirian. Apalagi sekarang aku benar2 sendirian, tanpa seorangpun di sisiku, termasuk Edwin. Aku mendesah. Pesawat akan berangkat 10 menit lagi. Tiba2 seorang gadis berkulit sawo matang duduk di sebelahku. Ia tersenyum manis kepadaku. Mau tak mau aku ikut tersenyum. Ia berwajah manis, dengan kulit mulus yang sawo matang. Rambutnya sepunggung, lurus sekali dan lembut. Badannya tinggi semampai dan langsing. Cantik sekali, pikirku.
"Laras," ujarnya sambil menyodorkan tangan padaku. Dengan terkejut aku segera menyambut uluran tangannya.
"Yuni," balasku. Laras kembali tersenyum dan duduk manis di sebelahku.
Akhirnya pesawatpun lepas landas. Masih 2 jam perjalanan lagi, pikirku. Aku memejamkan mata, berusaha tidur. Tapi kegugupanku membuat aku tidak bisa tenang. Aku melirik Laras yang sedang sibuk di sebelahku. Ia sedang membaca sebuah brosur di tangannya.
Tunggu... brosur itu... brosur Klinik Harapan Hidup?
"Itu..." ujarku sambil menunjuk brosur di tangannya. Laras menoleh dan tersenyum
"Oh ini, aku memang hendak pergi ke tempat ini," jawabnya.
"Oh ya? Apa kamu hendak melakukan pengobatan? Atau riset?" Kejarku.
"Tidak sih, aku hanya..."
BRUKK!! Sebelum pembicaraan kami selesai tiba2 seorang ibu yang sedang berjalan menuju kamar kecil kolaps. Aku buru2 bangkit dari tempat dudukku untuk melihat, demikian juga Laras dan para penumpang lain yang penasaran.
"Harap kembali ke kursi," perintah para pramugari, "tolong beri ruang!"
"Permisi, saya suster," ujarku, "mungkin saya bisa menolong..."
"Baiklah, mari ke sini," tarik pramugari itu. Ibu2 yang jatuh pingsan itu sekarang sadar dan napasnya sesak. Aku bergidik. Aku melihat roh kematian sudah ada di sekitarnya. Aku buru2 menekan dada ibu itu, tapi dalam hati aku tau dia tidak akan selamat. Dalam hati aku menghitung, "lima... empat..."
"Sebentar, beri saya ruang. Saya dokter!" Tiba2 sebuah suara mengagetkanku. Aku menoleh dan melihat sosok Laras di belakangku, mengaku sebagai dokter. Tunggu, berarti ia benar2 dokter?
Dengan sigap Laras memeriksa pasien itu dan menyiapkan alat kejut jantung yang ada di pesawat. Tidak akan berhasil, pikirku. Itu sia2.. roh kematian sudah begitu dekat.
"Hah!!" Seru Laras, "akhirnya..."
Aku mendengar sesuatu yang tak ingin aku dengar. Dan ibu itu tiba2 kembali bernapas teratur. Aku tertegun. Roh kematian yang berwarna kehitaman itu mendadak menghilang dari sekitar ibu itu, dan sekarang tampaknya ia sudah sembuh. Laras tersenyum. Seluruh penumpang bertepuk tangan atas keberhasilan Laras. Laras berbalik dan beradu pandang denganku. Ia tetap tersenyum dan berjalan kembali ke tempat duduknya. Aku menatapnya tak percaya. Siapa dia sebenarnya? Mengapa ia bisa mengenyahkan roh kematian itu?
Apa mungkin dia...??
Aku buru2 kembali ke tempat dudukku, aku tak sabar menanyakan hal penting ini pada Laras. Tapi ketika aku kembali, Laras sudah menutupi matanya dengan masker tidur, tanda ia tak ingin diganggu, dan tak ingin ditanya.
Apa berarti kecurigaanku benar? Laras adalah... malaikat kehidupan, sama seperti Adriel? Dan mengapa ia juga menuju ke Klinik Harapan Hidup? Apakah ia dan Adriel saling mengenal? Pikiranku berkecamuk. Tak sadar akupun jatuh tertidur.
Beberapa saat kemudian, aku dibangunkan oleh seorang pramugari.
"Sudah sampai, mbak," ujarnya, "yuk turun."
Aku buru2 melompat dari tempat tidur. Rupanya pesawat sudah mendarat dan orang2 sudah turun. Aku melirik kursi sebelahku. Laras sudah tidak ada. Shit, bisikku. Aku buru2 menurunkan tasku dan berjalan keluar. Lagi2 pikiranku terpaku pada Laras dan kejadian di pesawat tadi. Apa benar... Laras juga adalah malaikat kehidupan?
KAMU SEDANG MEMBACA
DEATH ANGEL 2
ParanormalYuni, seorang suster yang memiliki kemampuan mendeteksi kematian seseorang, memutuskan untuk menjalin hubungan dengam Edwin, mantan pasien kanker yang telah sembuh total. Bersama Edwin, yang juga memiliki kemampuan yang sama dengannya, Yuni berusaha...