Part 4

5.8K 497 7
                                    

Keesokan harinya, seperti biasa kemampuanku membaca kematian-kematian yang akan terjadi di Rumah Sakit. Hari ini sejak pagi Edwin belum menghubungiku. Kurasa dia benar-benar marah. Namun aku tetap tidak peduli. Menurutku tindakannya sungguh kekanak-kanakan.

Hm, by the way, hari ini akan ada satu orang lagi yang harus menghadap Yang di Atas. Pasien yang sedang kutangani bersama Dokter Adriel. Namanya Yessi, berusia 16 tahun. Menderita kanker lambung. Hari ini juga dia akan meninggal. Jadi ketika Dokter Adriel berteriak-teriak panik untuk menyelamatkan nyawa gadis mungil itu, aku hanya menanggapinya dengan santai.

"Cepat ambilkan alat-alat!" perintahnya padaku.

Dengan santai dan senyum aku mengambilkan alat-alat yang dia perintahkan. Dokter Adriel kelihatan panic, namun di balik kepanikannya itu kulihat ketenangan yang luar biasa. Hm, seandainya saja ia tahu kalau pasien ini, bagaimanapun, akan meninggal...

Inilah saatnya... Aku mulai menghitung dalam hati sambil mengamati Dokter dan suster lainnya bekerja...

"Lima... Empat... Tiga... Dua... Satu..."

Namun yang kudengar bukanlah suara TIIIT panjang dari alat deteksi jantung. Sebaliknya, alat itu berdetak sempurna. TIT TIT TIT... Tidak mungkin... apa diagnosaku salah? Selanjutnya yang kudengar adalah suara lega dari Dokter Adriel dan suster-suster lainnya. Semua kelihatan gembira... kecuali aku. Ini semacam pukulan bagiku. Sudah beberapa bulan ini, setidaknya setelah aku berhubungan dengan Edwin, kemampuanku membaca kematian tidak pernah sekalipun salah... Tapi hari ini...

"Kenapa, suster? Kok bengong?" Tanya Dokter Adriel kepadaku.

"Eh, nggak kok, aku ikut senang," jawabku, berusaha menyembunyikan rasa shock-ku. Ini benar-benar kesalahan pertamaku. Kesalahan fatal. Yessi sembuh total.

Ternyata kesalahan tidak berhenti sampai di situ. Sepanjang minggu itu aku menghadapi banyak kesalahan... Kesalahan yang fatal. Kesalahan deteksi kematian.

Hari kedua setelah hari itu, aku dan Dokter Adriel menangani pasien lain yang menurutku, menurut kemampuanku, akan meninggal saat itu juga. Namun lagi-lagi diagnosaku salah. Lima detik hitunganku membawa pasien kepada kesembuhan, bukan kematian.

Hari ketiga pun demikian... sampai hari keenam. Namun anehnya, itu hanya terjadi pada pasien yang kutangani bersama Dokter Adriel. Pasien-pasien lain yang tidak kutangani tetap meninggal sesuai perkiraanku. Namun merupakan sebuah siksaan besar bagi batinku ketika melihat pasien di ruang operasi atau ICU tidak jadi meninggal. Bukan, bukan aku menginginkan mereka meninggal, tapi aku justru semakin meragukan kemampuanku.

"Kenapa bisa seperti ini!" keluhku. Aku sedang duduk di depan kamar 18 sambil merenungkan kegagalanku selama ini. Namun aku jadi teringat hal yang lain. Edwin. Sudah seminggu ini Edwin belum menghubungiku... setelah hari kami bertengkar. Kurasa ia benar-benar marah. Ia juga tidak muncul di Rumah Sakit seperti biasa. Ah, kurasa cukup semua pertengkaran ini...

Tapi... Tunggu... Sebelum aku bertengkar dengan Edwin, kemampuanku berjalan seperti biasa. Semua diagnosa kematianku berjalan lancar... namun sejak aku berjauhan dengan Edwin, semua perkiraan kematianku meleset...

Apa mungkin... dewa kematian memperhatikan kami? Ketika aku dan Edwin bertengkar, mungkinkah dengan sendirinya kemampuan kami juga ikut bertolakan? Apa karena kami bertengkar, kemampuanku jadi meleset terus menerus? Ya, mungkin itu alasannya! Mungkin itu sebabnya aku selalu salah menerka! Dengan cepat aku meraih HP di dalam saku rok susterku dan menekan nomor Edwin. Setelah lama berdering, Edwin akhirnya mengangkat HPnya.

"Halo," jawabnya tak bersemangat.

"Hei, ini aku," ujarku. Edwin tidak menjawab, hanya mendengus.

"Oke, aku tau kau kesal. Kau sudah mendiamkanku enam hari. Kupikir ini sudah mulai keterlaluan," ujarku.

"Kau yang keterlaluan," gumamnya kesal.

"Ya, benar. Aku yang keterlaluan. Sekarang bisakah kau maafkan aku?" tanyaku lembut.

"Tentu," jawab Edwin senang, "aku menunggu telponmu."

"Bagus. Sekarang bisakah kita bertemu? Ada sesuatu yang penting yang perlu kubicarakan. Tentang kemampuan," ujarku cepat, tanpa membuang sedikit pun waktu. Memang aku benci basa-basi.

"Huh, kemampuan dan kemampuan... kapan kita akan membicarakan hubungan kita?" desah Edwin, kecewa.

"Oke, kita akan membicarakan hubungan kita juga," jawabku sambil tertawa, "Coffee shop, jam sepuluh."

"Sampai nanti," ujar Edwin, "sayang."

"Oke, sayang," lalu aku menutup telepon. Berharap jam cepat menunjukkan pukul 10.

DEATH ANGEL 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang