Part 9

5.2K 424 9
                                    

Namun esoknya, aku semakin kuatir karena Adriel tidak muncul di kantor. Dan Dokter Rani pun mengatakan bahwa Adriel tidak ada di apartemennya. Adriel menghilang. Kasihan. Dia benar-benar shock!

Sepanjang hari aku tidak tenang karena memikirkan Adriel. Namun tiba-tiba saja HPku berbunyi. 1 Message Received.
YUN, INI AKU, ADRIEL. BISA BERTEMU? MUNGKIN YANG TERAKHIR. COFFEE SHOP, 21.00. TANPA EDWIN. THX.

Aku jelas menggarisbawahi kata "Tanpa Edwin", namun aku begitu kuatir sampai-sampai aku tidak peduli lagi pada kata itu. Tepat jam 9 aku sudah sampai di Coffee Shop. Aku mencari sosok Adriel yang gagah, namun yang kutemukan adalah seorang pria asing dengan jubah warna hitam yang misterius. Namun ketika kulihat dengan jelas, itu adalah Adriel. Wajahnya kusut, kegantengannya seperti berkurang dengan mata cekung yang kehitaman dan mulut tanpa senyuman.

"Hai, Yun," sapanya, mencoba kedengaran tenang.

"Dri... kamu..." aku tak sanggup berkata-kata.

"Aku sudah memutuskan menuruti perkataan kalian. Aku berhenti menjadi dokter. Meskipun sulit, aku sadar bahwa inilah takdirku," jelasnya. Aku masih diam.

"Yuni," bisiknya, "bukankah aku pernah mengatakan bahwa aku sangat tertarik padamu... dan aku menyukaimu?" Jantungku berdebar kencang.

"Ya," bisikku.

"Sampai sekarangpun aku tetap merasakannya," ujarnya, "namun sayang... aku tahu bahwa kita ada di dunia berbeda. Kalian malaikat kematian dan aku adalah malaikat pelindung kehidupan..." Adriel tersenyum kecut.

"Mungkin malam ini adalah kali terakhir kita bertemu sebagai Adriel dan Yuni yang kemarin-kemarin. Namun setelah pertemuan kita ini, aku tidak yakin bahwa kita bisa bertemu seperti ini," ujar Adriel lagi.

"Maksudmu?" aku penasaran.

"Kita bukan hanya ada di dunia berbeda, Yun... tapi sekaligus bertentangan. Duniaku melawan duniamu. Duniamu melawan duniaku. Perasaanku kepadamu tetap sama, Yun, namun aku sadar mungkin takdir tak berpihak padaku..."

"Aku masih belum ngerti..."

"Setiap kali kalian memprediksi, aku yang akan menggagalkan prediksi kalian itu. Aku adalah Malaikat Pelindung Kehidupan. Meskipun aku bukan lagi dokter, tapi aku tetap akan melindungi kehidupan para manusia... dari diagnosa para malaikat kematian, seperti kau dan pacarmu," nadanya berubah ketika menyebut "pacarmu."

"Jadi intinya kita bermusuhan?" tanyaku tak percaya. Adriel tersenyum lembut.

"Mungkin secara teknis," ujarnya, "namun secara hati... Aku akan tetap mencintaimu." Adriel berdiri tiba-tiba dan membungkuk untuk mencium keningku.

Jantungku langsung berdebar 2x lebih kencang. Hatiku berdesir. Bahkan Edwin sekalipun belum pernah menciumku!

"Anggaplah ini sebagai hadiah perpisahan dariku," ujarnya tenang, "selamat tinggal, Yuni... Selamat tinggal, malaikat kematian..."

"Adriel!" panggilku. Namun Adriel berjalan tanpa menoleh-noleh lagi. Aku hanya bisa duduk dan berurai airmata. Adriel... sudah berubah...menjadi musuh terbesar kami. Musuh terbesar bagi malaikat kematian...

"Yuni! Kamu nggak papa??" tiba-tiba Edwin sudah berdiri di depanku dengan napas terengah-engah, "mana si brengsek itu?"

"Kok kamu tau aku di sini?" tanyaku heran.

"Si brengsek Adriel itu mengirimiku pesan di HP, ia berkata bahwa mulai sekarang ia akan menjadi musuh kita. Dan aku langsung kepikiran kamu! Aku cari di Rumah Sakit, katanya kamu ke sini, jadi aku buru-buru ke sini... eh..." Edwin terdiam sejenak dan mengamatiku, "kamu menangis? Ada apa? Apa yang dilakukannya padamu??"

"Nggak ada," jawabku singkat, "mari kita pulang."

"Yun," Edwin menarik lenganku, "kamu... kamu beneran nggak papa?"

"Iya," aku mengangguk.

"Aku sangat mencintaimu, Yun. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu," bisik Edwin, padahal ia sangat jarang mengatakan hal-hal romantis seperti itu padaku. Setelah mengatakannya, wajahnya jadi merah dan ia berjalan mendahuluiku keluar dari Coffee Shop.

Oh, apa yang harus kulakukan? Haruskah aku jujur pada Edwin bahwa Adriel suka padaku? Apakah aku benar-benar harus memusuhi Adriel? Kenapa jantungku berdebar ketika berhadapan dengan Adriel? Kenapa aku tidak mau jujur pada Edwin? Apakah aku masih mencintai Edwin??

Berbagai pertanyaanpun timbul dalam hati kecilku, sementara Edwin memboncengku di atas motornya. Aku berusaha mengenyahkan pertanyaan-pertanyaan aneh itu dari benakku dengan cara memeluk Edwin erat-erat dari tempat duduk belakangku. Aku membenamkan wajahku di punggungnya dalam-dalam. Edwin menggenggam tanganku dengan satu tangannya yang bebas. Sepertinya tanpa kuceritakan pun, Edwin sudah tahu kegalauan hatiku... Dan mungkin jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku akan dapat kujawab nanti.

DEATH ANGEL 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang