Part 18

1.1K 99 23
                                    

"Aku benci diriku, aku benci kemampuan ini, aku benci takdir ini!!" umpatku. Aku menangis sesenggukan.

Aku dan Edwin sedang ada di pesawat, dalam perjalanan pulang. Adriel dan Laras dinyatakan meninggal. Polisi menyatakan bahwa Laras terkena serangan jantung, sedangkan Adriel menusuk dirinya sendiri

Edwin mengelus punggungku, "Aku juga... Tapi inilah takdir kita, Yan..."

"Kenapa kamu tidak bilang sebelumnya!" aku menyalahkan Edwin.

"Karena aku tidak mau kamu sedih, aku tidak mau kamu seperti aku... Setelah mengetahui takdirku, aku sangat membenci diriku sendiri!" ujar Edwin.

"Tapi... tapi kita bisa membunuh orang Win," bisikku. Aku menatapnya tajam.

"Kita tidak membunuh orang dengan sembarangan, Yan," bisik Edwin, sangat hati-hati supaya orang di pesawat tidak mendengar, "Kita dapat mengontrol kemampuan kita. Kita hanya menggunakannya saat terdesak!"

"Tapi tetap saja Win, kemampuan kita bukan hanya memprediksi, tetapi kita juga bisa menyakiti orang lain!!" isakku, "Seharusnya kita yang mati, bukan mereka. Mereka malaikat kehidupan, yang melindungi nyawa orang lain, sedangkan kita... Kita ini Iblis, Win!!"

Edwin terdiam. Perjalanan kami dihabiskan dalam kesunyian. Selama ini aku menyukai kemampuanku, kupikir kemampuanku bisa bermanfaat dalam bidang keperawatan yang kutekuni. Hebat kan, kemampuan untuk memprediksi kematian? Namun ternyata itu kutukan. Bahkan, kutukan itu membuatku kehilangan Adriel, orang yang kucintai...

Tidak terasa, pesawat sudah mendarat di kota tujuan kami. Sebelum turun dari pesawat, aku menatap Edwin lekat-lekat.

"Win, jawab aku dengan jujur. Apakah kau sudah tahu dari awal kalau Adriel adalah malaikat kehidupan?" tanyaku.

Edwin menggeleng.

"Awalnya akupun tertipu olehnya," bisiknya. Ia balik menatapku.

"Sebenarnya masih banyak yang ingin kuberitahukan padamu, Yan," ujar Edwin, "Misi kita, dan yang lainnya... Aku menyesal tidak memberitahumu dari awal. Aku berpikir biar waktu yang membukakan takdir kita satu per satu. Aku salah... Ternyata itu malah lebih menyakitimu."

Aku terdiam. Toh, semua sudah terjadi... Penyesalan Edwin tidak berguna sekarang, begitu juga penyesalanku. Hanya takdir yang layak kubenci.

"Yan... Aku minta maaf untuk semuanya," Edwin meraih tanganku, "Aku tahu mungkin ini waktu yang tidak tepat, tapi maukah kamu menerima aku kembali di sisimu?"

Aku menghela napas, "Saat ini belum, Win... Setelah semua yang terjadi..."

"Apakah kau benar-benar mencintainya?" tanya Edwin. Aku tahu siapa yang ia maksud. Adriel...

Aku mengangguk pelan, "Aku tidak tahu apakah ini cinta, tapi saat ini hatiku perih setiap kali mengingat dia..."

"Baiklah. Aku akan menunggu," ujar Edwin.

"Saat ini aku juga tidak ingin berhubungan denganmu, Win," kataku, "Aku ingin sendiri dulu. Aku juga tidak mau bekerja di Rumah Sakit lagi..."

"Tetapi bukankah menjadi perawat adalah impianmu?" Tanya Edwin, "Jangan lakukan keputusan bodoh, Yan!"

"Saat ini aku butuh waktu untuk mencerna semuanya... Kumohon, Win, aku benar-benar ingin sendiri..."

"Baiklah," jawab Edwin, "Tetapi jika kamu sudah dapat menerima takdir ini, temui aku. Aku akan ceritakan semuanya..."

"Bagaimana jika aku tidak akan pernah menerima takdir ini? Bagaimana jika aku ingin menjadi diriku yang normal?" Ujarku dalam hati.

Namun di hadapan Edwin, aku mengangguk, "Selamat tinggal, Win..."

"Sampai jumpa, Yun."

Aku dan Edwin berpisah di bandara. Entah kapan aku akan bertemu dengannya lagi.

THE END

(Bersambung ke Death Angel 3)

DEATH ANGEL 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang