Part 15

844 95 1
                                    

"Apa maksud semua ini?" ujarku pada Edwin di telepon.

"Kau sudah sampai ke sana?" tanya Edwin.

"Tidak usah ulur-ulur waktu. Jelaskan padaku, Win, apa maksud semuanya ini? Adriel tidak ada di sini!" seruku kesal, "Kamu pasti tahu sesuatu kan?"

"Oh ya? Adriel tidak ada? Bagaimana dengan Andrew?"

"Edwin! Sudah kuduga kau tau tentang semua ini!!"

"Tunggu aku di sana. Susah dijelaskan lewat telepon. Daah!"

"Apa? Tunggu! Edwin!!" TUUUTT... TUUT... Telepon diputuskan.

"Bagaimana? Apa temanmu tahu sesuatu?" tanya Laras.

"Aku yakin dia tahu, tetapi ia menyuruhku menunggunya"

"Dia akan kemari?" tanya Laras.

"Entah, kurasa begitu..."

"Hm, baguslah kalua begitu, aku sudah tidak sabar dengan penjelasannya" ujar Laras, "Ah, aku harus kembali ke Klinik! Mari kita habiskan kopi kita yang sudah mulai dingin. Aku yang akan bayar."

"Oh, makasih," ujarku sambal menyeruput kopiku.

"Kamu habiskan dulu ya, aku mau ke kasir dulu," ujar Laras sambal membawa tas jinjingnya.

Aku mengangguk. Kuhabiskan kopi yang tinggal sedikit itu. Perlahan-lahan, semuanya menjadi gelap.

***

Di mana aku? Kenapa semuanya putih? Aku mengerjap-ngerjapkan mataku.

Sekarang tampak bahwa aku ada di rumah sakit. Terdapat tirai putih dan meja dokter.

"Kenapa aku di si" ucapanku berhenti. Laras ada di seberangku, duduk di kursi dokter sambil menyilangkan tangannya. Aku juga baru menyadari bahwa kaki dan tanganku terikat dengan tali.

"Laras, apa yang terjadi??" seruku.

Laras tersenyum sinis, "Tugasmu sudah selesai. Sebentar lagi kawan malaikatmu akan sampai dan aku tinggal menghabisi kalian berdua. Hahahahaa!"

"Apa maksudmu??"

"Itu sudah menjadi tugasku sebagai Malaikat Kehidupan, yaitu melenyapkan kalian, Malaikat Kematian yang selalu mencoba menggagalkan usaha kami," ujar Laras.

"Kami? Maksudmu kau dan..."

"Ya, betul, aku dan Andrew," jawab Laras, "Andrew, sudah waktunya kau tunjukkan dirimu!"

Aku melihat Adriel keluar dari balik tirai rumah sakit. Wajah tampannya kelihatan lesu.

"Adriel!!" seruku, "Kau..!!"

"Maafkan aku, Yun," bisik Adriel sedih, "Semua gara-gara aku"

"Hentikan semua omong kosongmu, Andrew! Gara-gara kau, kita hampir saja gagal menghabisi mereka!" potong Laras, "Pakai acara jatuh cinta segala, cuih!"

"Bisakah kalian jelaskan semuanya dari awal?" tanyaku tidak sabar, bingung.

"Sebenarnya aku membohongimu, Yan... Dari awal aku sudah tau diriku Malaikat Kehidupan. Aku sengaja praktek di rumah sakitmu, semuanya untuk menangkapmu dan Edwin... Kami, Malaikat Kehidupan, ingin memusnahkan Malaikat Kematian Tapi usahaku gagal, karena aku.. jatuh cinta padamu," jelas Adriel.

"Omong kosong!" Laras mendorong Adriel, "Sekarang kau harus focus pada tugas kita, Andrew! Persetan dengan cinta. Kau kan tau siapa kita, dan siapa mereka? Mereka adalah Iblis yang harus dimusnahkan!"

"Jadi ceritamu soal kakakmu itu bohong?" tanyaku bingung.

"Tentu saja. Itu semua untuk menarik Edwin kemari juga. Kami akan menghabisi kalian Bersama-sama. Hahahaha!" Laras tertawa.

Aku menatap Adriel. Adriel menghindari tatapanku, ia menatap ke lantai, terlihat sedih dan menyesal.

"Tapi kenapa? Apa salah Malaikat Kematian pada kalian?" tanyaku.

"Kamu masih belum mengerti juga ya? Kematian itu identik dengan Iblis! Kalian harus dimusnahkan, itu sudah takdir kalian dari yang mahakuasa, menjadi kejaran kami, malaikat-malaikat kehidupan!" ujar Laras.

"Itu hanya pandanganmu saja," geram Adriel, "Kita tidak harus membunuh mereka, Laras!"

"Andrew, papa bilang apa pada kita sebelum meninggal, hah? Dia bilang kita harus memusnahkan Malaikat Kematian! Dan kamu tau siapa yang menyebabkan dia meninggal? Kaum mereka!" jerit Laras.

"Tapi itu bukan mereka! Memang Malaikat Kematian yang membunuh papa, tetapi tidak ada hubungannya dengan Yani! Tolonglah, Laras, berpikirlah jernih!" pinta Adriel.

PLAKK!! Sebuah tamparan bersarang di pipi Adriel, "Kamu yang harus berpikir jernih!!" jerit Laras marah, kemudian keluar ruangan sambal membanting pintu.

Tinggal aku dan Adriel di ruangan itu.

"Dri, lepaskan aku," ujarku, "Please... Ini semua aneh dan tidak normal, kau sendiri tau kan!"

Adriel bergeming. Ia menatap lantai dengan sedih, "Laras benar. Ayah kami mati dibunuh oleh Malaikat Kematian Sebelum meninggal, ayah berpesan pada kami untuk membunuh semua Malaikat Kematian" Adriel menatapku, "Tapi aku mencintaimu, Yan. Sangat"

"Dri, dengerin aku. Aku nggak mungkin kemari jika bukan karena kamu," isakku.

Adriel terpekur, ia mendekatiku, "Benarkah? Jadi kamu kesini Karena aku?"

Aku mengangguk.

"Apakah kamu mencintaiku, Yan?" tanya Adriel, ia memegang pipiku yang basah karena airmata.

"Itu tidak penting sekarang, Dri Kamu harus melepaskan aku sebelum Laras kembali," ujarku marah.

Adriel mengangguk. Ia mulai melepas ikatan tangan dan kakiku. Tapi sebelum kami berdua kabur, Laras sudah kembali ke ruangan...

DEATH ANGEL 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang