14 - Him.

147 13 0
                                    

White t-shirt a.k.a Revano Akbar.
Black t-shirt a.k.a Arrafi Shirad.

Enjoy!

Kami berlima sekarang sedang berada di bioskop. Suasananya cukup ramai membuatku merasa sedikit tidak nyaman karena aku kurang suka berada di tengah keramaian.

Aku mengetukkan kakiku berulang kali ke karpet tebal alas tempat ku berdiri.

Evan menatapku cemas,
"Rame banget ya?" Bisiknya.

Aku mengangguk malas sambil memainkan ujung rambutku.

"Guys, gini aja. Daripada ngantri gerombolan gini. Juli sama Kristi mending beli makanan deh ya, popcorn, softdrink or whatever. Biar gue aja yang ngantri disini, dan Rafi sama Al tunggu aja tuh di kursi." Ujar Evan panjang lebar.

Tanpa berkomentar apapun lagi Kristi menarik Juli ke counter makanan dan minuman.
Aku tersenyum penuh rasa terimakasih pada Evan karena saat ini aku memang benar-benar butuh ruang.

"Jagain Al-nya, Raf. Awas kalo macem-macem." Ucap Evan berpura-pura mengancam.

"Yoi bro." Timpal Rafi kalem.

Pun aku menggamit lengan Rafi menjauh dari antrian menuju kursi panjang yang sudah banyak diduduki oleh pengunjung yang menunggu filmnya dimulai.

"Nyandar boleh, Raf?" Tanyaku pelan.

Tanpa menyahut Rafi meraih kepalaku lalu diarahkan ke pundaknya. Diam-diam aku tersenyum senang.

Anehnya perasaanku masih tetap tidak enak, padahal aku sudah menyingkir dari tempat antrian yang banyak orang berlalu-lalang.

"Vir, kok diem aja?" Rafi menundukkan kepalanya untuk melihatku.

Aku hanya menggeleng pelan.

"Dingin ya?" Tanyanya seraya menggenggam tanganku.

Aku tersenyum tulus padanya,
"Sedikit." Sahutku.

Udah hangat kok kalo di pegang terus tangannya sama kamu, Raf. Tambahku dalam hati.

Aku sedikit kecewa ketika Rafi melepaskan tangannya dariku. Namun saat ku tahu ternyata Rafi ingin melepaskan hoodie-nya. Aku pun menahan pekikanku.

"Hadap sini dulu, Vir." Pintanya lembut.

Aku menurut dan memutar tubuhku ke arahnya. Rafi membantu merentangkan tanganku lalu memakaikan hoodie miliknya di badanku.
Wangi khas Rafi menyeruak ke dalam indera penciumanku, membuatku merasa hangat dan nyaman.

"Makasih, Raf."

"Anything for you, Vira." Ujarnya seraya mengusap dahiku.

Ah, pasti pipiku sudah bersemu merah sekarang. Terbukti dari Rafi yang sedang terkekeh sambil melihati wajahku.

Aku menyandarkan kepalaku lagi di bahunya. Merasa bosan karena Evan yang tak kunjung selesai mengantri, jadi aku iseng memperhatikan sekelilingku.
Mataku masih sibuk mencari sesuatu yang menarik, hingga aku menemukan seseorang yang mirip dia. Atau mungkin itu memang dia?
Hawa dingin seakan menusuk pangkal leherku, seolah-olah hoodie yang baru saja kupakai tidak berguna lagi.

Aku takut. Tapi mataku tidak bisa terlepas dari sosoknya.
Mungkin dia juga merasa kalau sedang diperhatikan, karena sesaat kemudian pandangan kami bertemu. Dan ternyata memang benar dia.
Tubuhku langsung gemetar hebat, aku memalingkan pandanganku, menyembunyikan wajahku di cekukan leher Rafi.
Aku mulai menangis.

"Vir? Ya tuhan. Lo kenapa?" Suara panik Rafi seolah menguap entah kemana.

Rafi memegang erat kedua lenganku lalu menatapku lekat-lekat. Aku hanya bisa menggigit bibir supaya suara tangisanku tidak terdengar orang lain, pandangan mataku sudah mengabur karena banyaknya airmata yang berlomba menyeruak keluar.

I AM a FREAK teenagerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang