Rutinitas berjalan seperti biasa, pagi-pagi setelah mandi aku memoles wajahku dengan make-up tipis dan natural. Selama wajahku bisa terlihat lebih cantik lagi, aku tidak peduli jika aturan sekolah melarangnya. Sebenarnya aku sedikit mempunyai masalah kepercayaan diri, walaupun wajah polosku baik-baik saja, aku tetap membutuhkan topeng untuk memperkuat pertahanan diriku. Dan salah satu cara alternatifnya adalah memakai make-up.
Sedikit lagi sempurna, kurang olesan lip balm di bibirku saja supaya tidak pucat. Baiklah, selesai sudah.
Interupsi dari ketukan di pintu kamar membuat diriku berganti posisi dan mengalihkan pandangan. Menunggu siapa yang akan muncul dari balik pintu.Oh, kak Alvin.
"Turun de, sarapan." Ujarnya datar.
"Kak Alvin jangan panggil aku de terus dong. Ara aja. Aku kan bukan anak kecil lagi." Sahutku tak kalah datar.
Tatapan mata kak Alvin seakan menembus kedalam kepalaku.
"Oke Ara. Ayo?" Ajaknya mengkodekan supaya aku segera keluar dari dalam kamar.
Karena keinginanku sudah terpenuhi, aku mengambil tas yang teronggok di lantai dan membawanya dengan bahu kananku. Lalu menggamit lengan kak Alvin untuk turun ke bawah bersama.
Jangan berharap keluargaku sarapan bersama dengan riang dan penuh canda tawa.
Justru atmosfirnya suram serta tidak menyenangkan sama sekali.Aku duduk dengan cuek di samping kak Alvin. Tanganku mengambil roti tawar yang sudah disiapkan oleh Mami, tinggal dioles selai saja dan hap maka perutku akan terasa kenyang.
"Bagaimana nilaimu di sekolah Vira?" Ayah bertanya dengan suaranya yang mengintimidasi.
Aku bersusah payah supaya tidak memutar mataku mendengar Ayah memanggilku 'Vira'. Maka dari itu aku amat sangat tidak suka jika di sekolah ada yang memanggilku dengan nama tersebut.
Aku mengerjap karena masih belum menjawab pertanyaan Ayah. Sementara Ayah masih menatap tajam padaku, menunggu jawaban.
"Baik-baik saja kok, Yah." Jawabku kalem.
Entah salah mendengar atau tidak, sepertinya Ayahku baru saja mendengus.
"Kamu harus contoh Alvin, semua nilainya sangat bagus. Banyak perusahaan yang menawarinya pekerjaan, Ayah beruntung Alvin akan meneruskan perusahaan Ayah."
Otomatis aku melirik ke arah kak Alvin yang masih tetap berwajah datar sambil melahap rotinya.
Cih, terus maksud Ayah bilang seperti itu karena aku bodoh? Menyebalkan sekali.
Suasana hatiku memburuk seketika. Aku mengangguk pasrah pada Ayah. Hari masih terlalu pagi, aku tidak mau membuat keributan.
Beruntungnya suara klakson mobil sudah terdengar dari depan rumah yang artinya Juli sudah datang.
Tanganku langsung mengarahkan gelas berisi susu coklat ke dalam mulutku.
Hatiku lega karena berhasil terbebas dari aura mencekam yang berasal dari Ayahku sendiri. Berdiri kikuk, aku menghampiri Mami dan mencium kedua pipinya sedangkan pada Ayah aku hanya tersenyum tipis saja."Duluan kak." Pamitku saat melewati tubuh kak Alvin yang langsung dibalas dengan anggukan samar.
--
Sialan, aku lupa kalau setiap hari Rabu ada pemeriksaan kedisiplinan.
Koridor utama sudah riuh oleh para siswa yang melanggar aturan. Ironisnya sekarang Juli sedang menatapku prihatin.
Aku hanya mendengus, berjalan lebih dulu menghampiri senior yang akan memeriksa atau tepatnya mengomentari habis-habisan penampilan para juniornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I AM a FREAK teenager
Teen FictionJika kamu dihadapi dua pilihan. Pertama, seseorang dari masa lalumu yaitu sahabatmu sekaligus pernah menjadi pacarmu yang menerima kamu dengan semua rahasia kelammu. Kedua, seseorang di masa kini yang belum tentu bisa menerima rahasia kelammu, dan b...