Steven meregangkan tubuhnya yang terasa pegal-pegal karena tidur di sofa. Ia bangkit dari sofa, lalu berjalan menuju dapur untuk mangambil air minum. Saat diperjalanan menuju dapur, ia menengok pintu kamar. Dengan ragu, ia melangkah menuju pintu tersebut. Ia memegang kenop pintu, lalu memutar kenop tersebut.
Pintunya terkunci.
Ia menghela nafas. Apa Grace marah?. Batinnya. Lalu ia pun melanjutkan perjalanannya menuju dapur yang sempat tertunda tadi.
∞
Steven menonton televisi dalam keheningan. Pandangan Steven memang tertuju pada layar televisi, tetapi pikirannya melayang entah kemana.
Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apa yang Grace lakukan didalam kamar, mengapa sampai siang ini ia belum keluar juga?." Batin Steven.
Dan lagi-lagi, Grace berhasil membuat Steven khawatir akan keadaannya. Steven menghela nafas berat untuk yang kesekian kalinya. Ia bingung, haruskah ia mengetuk pintu kamar tersebut dan memanggil Grace keluar?. Sedari tadi Steven sudah sangat ingin melakukan hal tersebut, tetapi ia menahan diri karena ia pikir Grace butuh waktu untuk sendiri.
Tetapi ini sudah sangat lama. Batin Steven. Dirinya mulai bimbang sekarang.
Karena tidak dapat menahan diri, akhirnya Steven memutuskan untuk memanggil Grace keluar saja. Ia bangkit dari sofa, lalu beranjak menuju pintu kamar.
Steven mengetuk pintu kamar pelan. "Grace, apa yang sedang kau lakukan didalam?." Huft... pertanyaan yang bodoh. Batin Steven.
Setelah ia tunggu beberapa lama, belum juga ada jawaban dari dalam kamar. "Ayolah Grace, kau belum makan dari pagi, keluarlah sebentar untuk mengisi perutmu." Bujuk Steven.
Hening. Tetap tak ada jawaban dari dalam sana.
"Grace?." Panggil Steve pelan.
"Grace, apa kau disana?."
"Jawab aku Grace."
"Grace, aku mohon."
"Oh, ya ampun." Steven mengumpat saat ia tak juga mendapat jawaban ataupun sahutan dari Grace. Kekhawatirannya semakin bertambah. Apalagi ia tak mendengar sedikitpun suara dari dalam sana, pertanda tak ada pergerakan di dalam sana.
Ia memutar kenop pintu beberapa kali sembari menggedor pintu keras. "Grace! Apa kau didalam sana?!." Seru Steven, kekhawatiran tergambar jelas diwajahnya.
Steven mulai memutar otak untuk mencari cara membuka pintu kamar. Pintu kamar tak memiliki kunci cadangan, jadi satu-satunya jalan keluar adalah dengan mendobraknya.
Steven mundur beberapa langkah ke belakang. Dalam hatinya, ia juga tak yakin apakah cara ini akan berhasil, tetapi ia tetap akan mencobanya. Demi Grace. Batinnya.
Setelah meyakinkan dirinya, Steven berlari menerjang pintu dan mendobraknya menggunakan bahunya.
Brakk!!
Pintu berhasil terdobrak. Walaupun Steven merasakan nyeri yang amat sangat pada bahunya, tak urung ia tersenyum karena ia berhasil mendobrak pintu tersebut.
Steven mengedarkan pandangan di seluruh penjuru kamarnya. Lalu matanya menangkap suatu pemandangan, yaitu seorang gadis yang terbaring di lantai. Dia Grace.
Steven berlari panik menuju tempat Grace terbaring. "Grace!." Serunya sambil mengguncang tubuh Grace. Ternyata Grace tak sadarkan diri. Ia memeriksa denyut nadi Grace. Ia masih hidup.
Dengan sigap, Steven menggendong tubuh mungil Grace, lalu merebahkannya di tempat tidur. Ia memeriksa suhu tubuh Grace. Sangat panas, sepertinya Grace demam. Ia berjalan menuju dapur untuk mengambil kompres dan sebaskom kecil air es. Lalu ia kembali ke kamar. Setelah membasahkan kompres tersebut menggunakan air es, Steven menaruhnya diatas kening Grace.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delusion
FantasyGrace sangat suka berkhayal. Grace pikir dunia khayalannya lebih indah dibandingkan dengan dunia asli dimana ia tinggal. Pada suatu hari Grace mengalami kecelakaan yang menyebabkan ia koma. Grace pun malah terjebak di dunia khayalannya sendiri.