10. Always Wrong

2.1K 216 4
                                    

"Steve?."

"Grace, apa yang kau lakukan disini?!."

"A-aku hanya—."

"Sudah, cepat kembali ke kamarmu!."

"Tapi Steve—."

"KEMBALI SEKARANG!."

"B-baiklah, Steve." Dada Grace terasa sesak karena bentakkan Steven barusan. Padahal Steven tau bahwa ia paling tidak suka dibentak, tapi kini justru Steven yang membentaknya.

Ia memutuskan untuk segera keluar dari ruangan tersebut sebelum air matanya menetes.

"Tolong tutup pintunya." Pinta Steven.

Grace melangkah keluar, lalu menutup pintu perlahan. Saat pintu masih setengah terbuka, Grace berhenti menutupnya.

"Apa lagi?." Steven gusar.

"Maaf."

Grace langsung menutup pintu hingga rapat. Setelahnya ia berlari ke arah kamar dengan berlinang air mata. Ia menutup pintu kamar, lalu menangis pelan. Ia menutup mulutnya agar suara isakannya tak terdengar.

Selalu saja salah. Apa yang ia lakukan selalu saja salah.

Sebegitu sulitnya-kah untuk memaafkan kesalahanku?.

Lelah, ia lelah dengan semua ini.

Mungkin sudah tak terhitung berapa kali Steven menyakiti hati Grace.

Menggoreskan luka yang cukup dalam meski tak kasat mata.

Grace melihat keluar jendela lagi. Bedanya saat ini ia melihat lewat jendela yang beda. Meski kini ia telah menemukan Steven, hatinya tetap murung dan mendung. Wajahnya datar tanpa ekspresi.

Semua tahu bahwa Grace bukanlah orang yang suka menyimpan dendam, bahkan mungkin mereka mengira bahwa Grace tak punya emosi. Ia tak pernah menyimpan rasa dendam pada siapapun, sekalinya dia marah, itu hanyalah amarah biasa yang tak lama juga akan reda.

Tetapi bahkan mereka tak tahu.

Dibalik sikap yang ia tunjukkan saat ini, ada sebuah rasa yang terpendam. Rasa yang selalu ia pendam selama bertahun-tahun bahkan menumpuk dihatinya, membuatnya terkadang ingin berteriak sekencang-kencangnya agar emosinya reda.

Selalu saja ia memaafkan sebuah kesalahan dengan mudahnya. Bahkan orang-orang sampai berpikir sangat mudah untuk mendapatkan maaf dari Grace, dan mereka malah  mengulangi kesalahannya tanpa rasa bersalah. Sedangkan Grace hanya bisa tersenyum untuk kesekian kalinya dan memaafkan kesalahan orang tersebut lagi. Membuat mereka tak mempunyai rasa bersalah sedikitpun padanya.

Tetapi semua orang memiliki batasan.

Grace pun juga begitu.

Dan kini, ia akhirnya mengetahui batasannya.

"Grace, mau kemana kau?."

Grace tak menjawab. Ia memakai sepatunya, lalu bergegas keluar. Tetapi Steven menahan lengan Grace.

"Apa." Ucap Grace datar dan dingin.

Steven sempat kaget dengan intonasi Grace barusan. Baru kali ini Grace bersikap dingin padanya. Ia memeriksa kening Grace.

"Apa kau sakit?."
"Ah, tidak, suhu badanmu normal."

"Lepaskan tanganku." Ucap Grace masih menggunakan intonasi dingin.

"B-baiklah."
"Tapi kau mau kemana? Nanti malam akan turun badai salju."

"Bukan urusanmu." Ia melangkah keluar lalu membanting pintu dengan kencang.

DelusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang