Suara derasnya hujan terdengar menggelitik di telingaku tapi tidak dengan gemuruh petir yang sedari tadi membuatku setia berada dalam gelungan selimut. Aku menjadikan ponsel sebagai alat penerangan di dalam sini. Listrik padam, dan aku sendiri.
Bunda pagi-pagi sekali berangkat ke Jakarta, sepertinya ia akan menginap di rumah Nenek. Lagi, sialnya Ayah masih berada di luar kota sampai minggu depan.
Aku sudah mengirimi puluhan pesan kepada Bima untuk menemaniku disini, tapi tidak juga satupun dibaca, apalagi dibalas. Bahkan dua puluh kali aku menelfonnya juga tidak diangkat.
Anehnya lagi, stanger itu tidak mengirimiku pesan lagi eh? Padahal sudah pukul tujuh malam. Biasanya dia akan mengirimiku pesan pagi-pagi sekali. Aneh.
Aku berkali-kali mengecek ponsel dan nihil. Benar-benar menggelikan dengan kondisiku saat ini.
Perut lapar, listrik padam, sendirian, hujan deras dan suara petir bergemuruh mengisi seluruh ruangan kamarku yang terasa begitu dingin karena suhu AC yang menunjukkan angka dua puluh derajat. Di cuaca sedingin ini.
Jangan tanya mengapa aku tidak menaikkan suhunya, karena aku terlalu takut untuk keluar dari tempat amanku ini lalu mengambil remote di atas meja belajarku.
Aku masih terdiam seraya meringkuk memeluk kedua kakiku dan menutup wajahku di atas lututku. Aku hampir menangis ketika suara petir yang terdengar begitu horor di telingaku.
Salahkan Bima dan semua film horornya yang selalu menghantuiku. Jujur saja, aku tidak pernah takut menonton hal seperti itu, tapi kalau semua itu terjadi padaku aku akan takut setengah mati, seperti sekarang.
Aku takut tiba-tiba ada makhluk halus yang menarik selimutku dan menerkaku tiba-tiba lalu melahapku hingga habis. Salahkan Bima yang selalu mencekokiku dengam film horor, psikopat atau film yang isinya makhluk-makhluk menjijikan itu.
Setelah sekian lama bertarung melawan suara mengerikan yang menggema di telingaku, akhirnya aku bisa bernapas lega. Diantara riuhnya suara hujan dan petir yang justru terdengar seperti bersahutan, menurutku. Aku dapat mendengar suara deruman motor yang sangat kukenali.
Bima disini.
Aku memekik kegirangan dan memanggil-manggil nama Bima. Aku berteriak kencang sekali mengisyaratkan aku berada di dalam kamar dan Bima harus segera menolongku.
Ceklek
Suara decitan pintu kamarku membuatku lega. Kali ini aku tidak berimajinasi bahwa akan ada mahkluk aneh yang membuka pintu kamarku, tapi sepertinya Bima termasuk kedalamnya.
"Muka lo pasrah banget." Bima menarik selimutku dan menatapku datar.
Bisakah Bima sedikit saja bersikap lembut kepadaku? Seperti "Dela lo gapapa kan?" "Jangan takut gue disini".
Mustahil.
"Takut," kataku dengan nada manja. Hey! Aku benci harus bersikap seperti ini. Tapi aku ingin melihat reaksi Bima kali ini.
Seperti Bima bisa membaca pikiranku, ia menarikku kedalam pelukannya dan mengusap kepalaku pelan.
Dan saat itu aku baru menyadari bahwa baju yang dikenakan Bima sangat basah, benar-benar seperti seseorang yang habis diguyur air berpuluh-puluh ember.
Dan ini bukan pelukan hangat, tubuh Bima panas, ketika pipinya bersentuhan dengan milikku aku tahu kalau Bima demam.
Aku hendak menarik tubuhku menjauh tapi Bima malah semakin mengeratkannya.
"Bims, badan lo panas. Lo demam," kataku.
"Maaf gue telat dateng."
"Iya, tapi baju gue ikutan basah Bims. Lo mending ganti baju dulu oke?"
Lantas Bima menjauh dariku dan mengacak rambutku pelan. "Maaf jadi basah juga," katanya.
Aku mengangguk dan tersenyum lebar. Ya, aku memang rindu perlakuan Bima yang seperti ini.
"Yaudah gue mau ganti baju dulu juga, tapi Bims temenin ke bawah hehe."
"Penakut." Bima mencubit kedua pipiku dan itu berhasil membuatku memekik kencang untuk yang kedua kalinya.
Bima berdiri dan menarik tanganku. Kami berjalan kebawah dan aku masih mengalungkan lenganku di lengannya. Jelas saja aku masih takut!
*
"Bims, gue mau cerita." Aku mengunyah nasi goreng yang baru saja Bima buat.
Bima dan aku kali ini berada di meja makan dengan lilin sebagai penerangannya.
"Hm?" gumam Bima seperti tidak peduli.
Aku mendesah pelan. "Nyebelin, lo berubah Bima," kataku.
Bima mendongak menatapku datar. "Masa?" tanyanya. "Emang gue biasanya gimana?" tanyanya lagi.
"Cerewe, banyak omong dan selalu bikin gue sebel. Iya sih sekarang juga masih bikin sebel tapi kenapa lo jadi sok cool gini sih? Gaasik," jelasku panjang lebar.
"Gue... nyebelin?" Bima bertanya heran.
"Iya," balasku jujur. Maksudku, menyebalkan yang justru membuatku tersenyum-senyum sendiri, tapi justru sekarang Bima menyebalkan yang membuatku greget ingin membuat Bima berbicara. Aku merasa seperti Bima menjauh.
"Nyebelin kenapa?" tanyanya lagi.
"Pokoknya lo nyebelin Bims, lo dulu cerewet banget suka ngatur ngatur gue, inilah itulah. Bahkan gue makan apa aja lo selalu ngatur, Bunda aja jarang kaya gitu ke gue, lo lebih kaya emak-emak tau ga Bims?" kataku sedikit bercanda.
"Oh, ternyata selama ini lo keganggu sama gue," balasnya dengan tawa garing setelahnya. Tidak, Bima tidak tertawa. Maksudku tawanya kali ini berbeda. Apakah aku baru saja mengatakan hal yang salah? Maksudku kan bukan seperti itu.
"Gue gapernah anggep lo ganggu gue Bims, lebay lo," kataku lagi dengan cengiran lebar berusaha mencairkan suasana.
Tapi ternyata aku salah.
"Gue emang lebay Del, maaf gue terlalu ngatur hidup lo padahal gue bukan siapa-siapa lo," katanya menatapku dalam.
Setelahnya Bima terdiam. Aku terdiam. Tidak ada percakapan diantara kami, hanya suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Hingga Bima selesai memakan nasi goreng miliknya dan berjalan menjauh dari meja makan.
Bima mengambil jaket miliknya dan kunci motornya yang tergeletak di atas lemari TV di ruang tengah. Disaat yang bersamaan listrik menyala. "Gue gaperlu temenin lo lagi kan? listriknya udah nyala."
Dan bodohnya aku hanya memandang Bima dari sini.
Harusnya aku berkata sesuatu, tapi seperti sesuatu yang menyesakkan mengganjal hatiku setelah mendengar kalimat terkahir Bima.
Padahal gue bukan siapa-siapa lo
Katanya, aku bukan siapa-siapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eonian [B] ✓
Short Storyeonian (adj.) constant and indefinite; continuing forever Ini semua hanya karena sebuah permainan. Dua puluh satu pertanyaan dua puluh satu langkah lebih dekat. Copyright © 2015 by psychoxls