Sungguh tidak bisa dipercaya. Rangga, stranger tempo hari itu atau apalah dia sebenarnya, ia benar-benar menjalankan permintaanku. Mungkin telat, tapi ia benar-benar mendapatkan Cheesecake dan Marshmallow yang kuminta.
Dua puluh menit yang lalu bel sekolahku berbunyi nyaring sekali tanda pelajaran ke-enam akan dimulai. Awalnya kukira Rangga tidak bisa memenuhi permintaanku, ternyata lima menit yang lalu seorang kurir datang ke kelasku dan memberikanku sebuah kue dan sebungkus marshmallow, tepat seperti apa yang kuminta.
Dengan sigap aku mengirimkan Rangga sebuah pesan LINE.
Dellania : Makasih kuenya! Dan bagaimana lo bisa tau marshmallow kesukaan gue?
Rangga : Hahaha suara hatimu menggema di hatiku Del :))
Dellania : gak nyambung banget.
Aku mendengus geli seraya memasukkan ponselku lagi ke dalam saku rokku. Kemudian aku memawa sebuah kotak berisi kue dan marhsmallow itu ke mejaku.
Tebak siapa yang berteriak paling kencang ketika aku membuka kotak biru muda berisi kedua makanan itu? Angga, Dimas dan Chris. Lalu Bima, ah menyebalkan sekali mengingat ia hanya sibuk memainkan ponselnya. Padahal ketiga temannya itu dan teman-teman sekelas kami mulai sibuk bergantian mengucapkan "selamat ulang tahun".
Lantas aku memotong kue yang besarnya melebihi apa yang kupinta. Sudah jelas Dimas akan mengambil kue itu pertama, dan paling banyak. Aku mengambil sepotong untuk Bima, sebelum teman sekelasku menghabiskan semuanya.
"Bims." Aku menaruh piring kertas berwarna emas dengan sepotong kue di atas meja Bima. Ia hanya menoleh lalu tersenyum dan memakannya. Tanpa berucap sepatah kata pun. Bima lupa? Ergh.
Aku masih terdiam di hadapan Bima, memerhatikan dirinya yang tengah mengunyah kue itu dengan sesekali mengetikkan sesuatu pada ponselnya. Aku semakin geram, bagaimana bisa Bima bersikap biasa saja pagi tadi lalu berubah lagi seperti ini?
Lantas aku mengambil ponsel milik Bima. Aku mengernyit heran ketika melihat tampilan menu ponsel Bima. Ada yang aneh. Tapi, sebelum aku bertanya tentang hal itu, seseorang menepuk pundakku.
"Del, kuenya mau abis tuh." Angga menunjuk kue yang tersisa sepotong di atas mejaku. Chris dan Dimas dengan konyolnya menjaga kue itu dari teman-temanku yang meminta lagi kue itu. Eh? Padahal kue itu untukku, kenapa aku hanya mendapat sedikit?
Aku yang tidak terima langsung menyambar segerombolan makhluk yang akan mencuri kue milikku, tidak boleh. Dan aku sepertinya baru menyadari kalau aku telah melupakan sesuatu.
*
Aku menutup pintu kamarku setelah Bunda bertanya ada apa denganku. Aku hanya lelah, sungguh. Maka aku hanya tersenyum lebar memamerkan deretan gigi putihku pada Bunda meyakinkan kalau aku tidak apa-apa. Sepertinya Bunda terlalu lelah hari ini, loyang-loyang bekas membuat kue menumpuk di tempat cucian dengan sembarangan. Ah aku lupa, hari ini ulang tahunku dan Bunda sudah mempersiapkan semuanya.
Kemudian aku bergegas mandi dan menganti pakaianku dengan piyama. Aku menuruni tangga berlantai kayu yang dingin menusuk kaki telanjangku. Bunda terduduk di sana dan... Ayah? Sepertinya ia baru datang.
Senyumku mengembang seketika, aku berlari ke arah mereka. Ayah memgang seloyang kue tart buatan Bunda, mereka mengenakan topi kertas warna-warni. Bunda memasangkannya untukku juga. Aku meniup lilin angka tujuh belas berwarna merah itu dan Bunda dengan senyumnya bertepuk tangan. Aku memeluk Bunda dan Ayah bergantian.
Aku bersyukur, setidaknya aku masih bisa hidup bersama Ayah dan Bunda. Tapi... seperti ada yang kurang. Bima tidak disini.
*
Suara petir benar-benar paling kubenci, aku lagi-lagi bergelung dalam selimut dengan menggenggam sebuah senter yang menyala terang bahkan menembus selimut biru langitku. Bunda dan Ayah pasti sudah tidur, aku sudah besar mana mungkin aku berlari ke kamar mereka dan meminta untuk ditemani tidur? Yang benar saja. Lebih baik aku berjuang dalam selimut daripada harus mengganggu mereka.
Suara derap kaki membuat suasana di kamarku seakan semakin horor. Aku memejamkan mataku seraya membaca kalimat-kalimat doa agar entah makhluk apa itu pergi. Suaranya semakin terdengar! Aku bernapas lega di sela-sela doaku. Katanya, kalau semakin keras suaranya maka semakin jauh jarak makhluk itu!
Tapi tiba-tiba lampu kamarku mati, dan digantikan oleh remang-remang cahaya lilin dan aku melihat sebuah bayangan seorang laki-laki yang sedang memegang sebuah... gitar?
Aku terdiam beberapa saat sebelum membuka selimut yang kukenakkan. Aku tercengang selama sebuah lagu yang mereka nyanyikan. Ah ya, ternyata mereka berempat.
Aku tersenyum ketika suara bass milik Bima terdengar lembut dan tenang di telingaku. Kali ini Angga tidak mengeluarkan suaranya sebagai sang vokalis. Angga hanya membawakan sebuah kue dengan tujuh belas lilin menancap pada kue itu.
Kue ketiga hari ini! Tebak siapa yang akan gagal diet kali ini? Sudah jelas aku.
"Bima lo nyebelin!" Aku mendengus geli, memukul bahu Bima pelan ketika ia mendekat ke arahku, menaruh gitarnya di atas ranjangku dan mengacak rambutku pelan.
"Ini jam sembilan malem dan kalian berempat berani-beraninya masuk kamar orang tanpa izin orang tuanya? Tindakan kriminal!" Aku berteriak heboh, Bima menutup mulutku dengan tangannya. "Ssst Del, gue belum izin ke Bunda nanti mereka bangun, terus ketawan. Nanti gue dipecat jadi calon menantu gimana?"
Setelahnya Bima tertawa pelan melihatku membulatkan bola mata tidak percaya.
"Kita kaya pho banget disini."
"Kita cuma setan."
"Lo aja setan, gue sih cogan."
"Gue tau Chris lo emang setengah bule, gausah songong."
"Ganggu suasana aja lo dadar gulung! kasian tuh Mas Bima sama Mba Dela."
"Kupret lo Dim, kenapa jadi meletak kepala suci gue?"
"Angga, Dimas. Serius coba."
"ABCD LIMA DASAR KELUAR LO SEMUA!"
Angga, Bima, Chris dan Dimas terdiam mendengar teriakan yang lolos dari mulutku. Sedari tadi Angga, Dimas dan Chris hanya mengoceh tidak jelas. Membuat pikiranku buyar dan membuatku geram, momen bahagiaku harus dihancurkan makhluk aneh seperti mereka.
"Wih sangar, mending kita melipir ganteng."
Setelahnya mereka keluar melompat dari jendela kamarku. Dan aku segera kembali menutup seluruh tubuhku dengan selimut. Karena tidak lama kemudian, Bunda dan Ayah membuka pintu kamarku lalu menutupnya kembali setelah meyakinkan aku sudah tertidur. Untung mereka sudah pergi. Kalau tidak? Argh aku tidak tahu harus berkata apa pada Bunda.
Aku jadi ingat kata-kata Bima sebelumnya. Refleks, kedua ujung bibirku terangkat mengingat hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eonian [B] ✓
Short Storyeonian (adj.) constant and indefinite; continuing forever Ini semua hanya karena sebuah permainan. Dua puluh satu pertanyaan dua puluh satu langkah lebih dekat. Copyright © 2015 by psychoxls