Hari ini aku harus ikut rapat bulanan eksktrakurikuler jurnalistik. Padahal aku bukan anggota jurnalistik. Ini semua karena permintaan Rangga, yang entah kenapa aku menyetujuinya.
Sebenarnya aku datang ke tempat ini hanya untuk mengetahui tema apa untuk majalah edisi bulan depan. Dan apa yang harus kutulis. Mengejutkannya lagi, aku baru tahu kalau Dimas merupakan anggota asli jurnalistik dan dia bertugas dalam hal design dan konsep mading sekolah. Memang sih, Dimas sangat ahli dalam hal seperti itu.
"Dela, sini." Dimas melambaikan tangannya ke arahku. Aku berjalan ke arahnya, sebuah ruangan di dalam ruangan yang dijadikan tempat rapat ekskul jurnal. Kemudian aku menempati kursi kosong yang berhadapan dengan Dimas. Ada meja besar di antara kedua kursi ini, dan ada banyak tumpukan kertas di atas meja itu.
"Gue gak ngerti kenapa lo harus ke sini." Dimas memulai pembicaraan.
Aku memutar bola mataku. Masa iya dia tidak tahu apa yang harus dia instruksikan?
"Serius Dim." Aku memasang wajah sedatar mungkin. Sungguh Dimas, ini bukan waktunya bercanda, karena aku harus segera pulang.
"Yah, pokoknya sih lo cuma buat cerbung, empat part aja, buat empat edisi doang kok. Tema-nya bebas terserah lo. Yang jelas jangan psycho ya," kata Dimas menekankan kata psycho. Aku tertawa pelan mendengarnya. "Yakali, enggak lahh," balasku.
Dimas tersenyum.
Ya, dia tersenyum. Dan aku baru menyadari kalau wajah Dimas itu manis. Oh sial, perlu diketahui bahwa ABCD lima dasar ini tergolong lumayan menurutku. Lumayan ya. Karena artis korea yang sering aku lihat di drama kesukaan Bunda jauh lebih tampan, dan keren.
"Terus deadline-nya setiap tanggal tiga di awal bulan," lanjut Bima.
"Yaiyalah, tanggal tiga emang di awal bulan," balasku gemas. Dimas tertawa mendengar responku. Entah tadi Dimas memang sengaja bercanda atau memang dia benar-benar aneh.
"Hahaha, iya nanti lo kirim ke e-mail jurnal aja. Nanti Rangga yang kasih tau e-mailnya ke lo."
Aku terdiam. Ada jeda beberapa detik sebelum aku bertanya, "Rangga?"
Dimas ikut terdiam. Yang tadinya tersenyum kini ia terdiam seperti memasang wajah bingung. "I-iya Rangga, ketua jurnal," katanya.
Aku hanya mengangguk. Dapat kudengar Dimas menghela napas lega. Aku emndongak ke arahnya. Menatapnya selidik. Dimas sangat lucu ketika gugup. Aku jadi iseng ingin menjahilinya. Memangnya hanya dia doang yang bisa menjahili orang lain?
Lagipula aku tidak perlu tahu tentang Rangga, toh aku sudah mengenalnya. Tapi, aku belum mengenal pasti siapa dia. Sepertinya ini kesempatan bagus untuk bertanya.
"Lo kenal Rangga banget ya?" tanyaku.
"Iya, kenapa?" Dimas malah bertanya balik. Kali ini justru aku yang terdiam. Aku saja tidak mengerti kenapa aku menanyakan hal itu.
"Gak kenapa-kenapa. Cuma pengen tau aja Rangga yang mana," balasku akhirnya.
"Yah, tunggu aja ya Del. Nanti juga lo tau siapa Rangga. Tapi kalo sekarang taunya gak asik Del. Terlalu cepet." Aku mengangguk lagi tanda mengerti.
Tak lama kemudian, suara ketukan pintu terdengar dari balik badanku. Dan Bima tengah berdiri disana dengan membawa tas ransel biru tua milikku.
"Del, pulang yuk. Udah selesai kan Dim?" Bima menarik tanganku ketika Dimas mengangguk. Aku mengikuti langkah besar-besar milik Bima. Bima seperti terburu-buru, hampir membuatku terjatuh kalau ia tidak memegangi tanganku erat.
"Bims, buru-buru banget sih. Ada apa?" Aku bertanya. Suasananya sangat dramatis kali ini. Bima menarik tanganku dengan setengah berlari menuju parkiran. Ia tidak menghiraukan pertanyaanku. Bahkan untuk yang ketiga kalinya aku bertanya, ia malah sibuk memakaikanku helm.
Lagi, Bima mengendarai motornya dengan kecepatan penuh. Memang sih kebiasaan Bima seperti itu. Tapi kenapa kali ini jauh lebih menyeramkan. Aku tahu diri tidak memukul punggung Bima, atau bisa saja kami tidak sampai tujuan malah sampai rumah sakit. Tapi... kalau itu terjadi, salahkan Bima dan sifat sok misteriusnya.
"Bims, jangan ngebut-ngebut dong, gue takut." Aku memukul pundak Bima dengan pelan, akhirnya. Dan Bima melambatkan laju motornya. Aku dapat bernapas lega kali ini. Dan ternyata kita sudah sampai tujuan. Bima langsung memasukkan motornya ke tempat parkir.
Setelahnya aku turun dan melepaskan helm yang sebelumnya terpasang di kepalaku, berat dan aku benci itu.
"Gue kemaren beli tiket nonton. Ada film baru Del. Kan jarang-jarang gue ngajakin nonton yang bayar. Dan—" Bima menggantungkan kalimatnya. Bima membuka helm yang dipakainya, mengambil yang kupakai dan menaruh keduanya. Kini ia menatapku dan jam tangan bergantian. "Filmnya mulai sepuluh menit lagi!"
Dan lagi, Bima menarik tanganku heboh. Berjalan dengan cepat.
Aku hanya tersenyum geli melihat tingkah Bima. Ini yang ketiga kalinya Bima mengajakku nonton bioskop. Yang pertama ketika awal masuk SMP, saat pulang MOS. Yang kedua setahun yang lalu, ketika aku marah pada Bima karena sudah membuat flashdisk milikku terkena virus dan menghilangkan semua drama korea kesukaanku.
Miris. Biasanya ia hanya mengajakku membeli dvd bajakan atau mendownload sendiri dan menontonnya di rumahku.
Yah, aku tahu. Bima tidak sepintar Angga, tidak setampan Chris atau tidak setajir Dimas. Setidaknya Bima tetaplah Bima. Yang kuharap menjadi milikku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eonian [B] ✓
Short Storyeonian (adj.) constant and indefinite; continuing forever Ini semua hanya karena sebuah permainan. Dua puluh satu pertanyaan dua puluh satu langkah lebih dekat. Copyright © 2015 by psychoxls