Tebak siapa yang sedang menunggu di dalam sebuah kafe sendirian ditambah hujan deras. Terlihat menyedihkan karena seluruh pengunjung di sini tidak seorang diri sedangkan aku hanya ditemani dengan dua kursi kosong di hadapanku.
Sofa merah yang kududuki terasa begitu tidak nyaman, alasannya hanya satu, aku sendirian.
Melihat kursi kosong di hadapanku yang satu jam lalu baru saja diduduki oleh Bima membuat hatiku terpukul. Bima pergi, melupakan janjinya dan meninggalkan aku dengan kabar baik yang menurutku sangat buruk.
Dua jam lalu kami sampai di kafe ini dengan tangan Bima yang menggenggam milikku erat. Banyak pasang mata yang memerhatikan kami, mungkin karena Bima di sebelah seseorang sepertiku yang tidak pantas bersanding di sisinya, seperti yang Bima katakan sebelum ia pergi.
Dengan santai Bima menarikkan kursi untukku seolah aku adalah tuan puteri, padahal Bima tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Aku tersanjung? Ah berlebihan, tapi jujur saja itu membuat jantungku berdegup tak wajar.
"Dels mau pesen apa?" Itulah kalimat pertama yang ia ucapkan. Tak lama setelah percakapan tentang pesan memesan itu, akhirnya seorang pelayan kafe datang membawakan pesanan kami.
Dengan tambahan notes biru langit pada pesanan milikku. Kalian pasti tahu siapa pengirimnya, Rangga.
Entah mengapa detik itu aku berharap Bima merasa cemburu atau apalah itu, tapi itu mustahil. Aku tahu. Bima malah mengucapkan, "Cie Dela udah jadi cewek sekarang? Ada yang naksir gitu...."
Hatiku mencelos mendengarnya, aku memang bukan tipikal perempuan idaman Bima yang feminim dan pendiam. Aku sadar, ternyata Bima tidak pernah menganggapku sebagai seorang perempuan.
Aku hanyalah sahabat kecil yang membuntuti Bima, tidak pernah lebih dari itu.
Apalagi setelah sebuah kabar yang ia ceritakan setelahnya. Semuanya semakin memperjelas bahwa aku bukanlah seseorang spesial yang Bima kagumi dari jauh.
Setelah aku melipat notes itu dan memasukkannya ke dalam tas kecil yang kubawa, Bima menunjukkanku sebuah foto dari ponselnya. "Menurut lo cewek lebih suka eeyore atau piglet?" tanyanya begitu seraya menunjukkan foto boneka besar dari karakter disney itu.
Aku mengerutkan keningku heran. Untuk apa ia bertanya hal itu?
"Buat apa Bim?" tanyaku.
"Buat... nembak cewek, dia suka banget sama film winnie the pooh tapi gue gak tau dia suka karakter apa," balasnya membuat aku membulatkan bola mata tidak percaya.
"Siapa yang mau nembak cewek? Dimas? Emang cewenya mau gitu?" Aku tidak mendengar jawaban, sampai tawa Bima mereda lalu ia berkata, "Ya gue lah, masa Dimas."
Aku memotong-motong kue yang kumakan dengan canggung, tidak menatap Bima dan menjawab pertanyaannya dengan ketus. "Gue gak tau, gue bukan cewek itu kan?" Bima tersenyum menepuk puncak kepalaku dua kali. "Good luck for me nya mana Del?" Ia tertawa, aku hanya mengangkat bahuku tidak peduli.
Aku yakin Bima menyadari perubahan sikapku terhadapnya, tapi Bima tidak pernah menyadari apa maksud dari semua ini.
"Good luck buat lo sama Rangga!"
Setelahnya ia pergi.
Ingin aku berteriak di hadapannya, berkata yang kuharapkan bukan Rangga, tapi Bima. Bima jelas tahu aku tidak memiliki perasaan sedikitpun kepada Rangga, meski kuakui aku sudah menghilangkan kesan burukku pada Rangga, dan ia memang menarik.
Kalau aku hanya bisa jatuh pada orang yang sama, kenapa aku harus mencoba jatuh di lubang yang berbeda? Padahal yang satu saja sudah terlalu sakit dirasakan, cinta itu memang rumit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eonian [B] ✓
Short Storyeonian (adj.) constant and indefinite; continuing forever Ini semua hanya karena sebuah permainan. Dua puluh satu pertanyaan dua puluh satu langkah lebih dekat. Copyright © 2015 by psychoxls