Dua

29.8K 1.7K 26
                                    


Seperti biasanya malam yang cerah di musim yang menghangat dengan angin yang bertiup lembut, memecah indahnya malam. Terdengar suara cekikilan mungil dari taman belakang bangunan berlantai 3, suara itu kadang diselingi dengan suara berat khas seorang pria.

Febian memandang mereka dari ruang makan, yang kini sudah terisi berpuluh-puluh anak kecil yang sudah duduk rapi di kursi mereka. Ia tersenyum melihat pemandangan keponakan kecilnya yang sedang berayun-ayun lembut, akibat dorongan lembut dari sosok yang selama ini menjadi bagian hidupnya juga. Mereka terlihat bahagia, selalu terlihat seperti itu, selama bebarapa tahun terakhir ini atau mungkin sejak kelahrian keponakannya.

"Febian, sebaiknya kau memanggil Clara untuk makan malam," kata seorang wanita paruh baya yang sudah ikut mengamati dua sosok yang sedang asyik di bagian ayunan.

Tanpa menjawab kata-kata itu, Febian langsung beranjak menuju pintu dan mendorongnya. Lalu pelan-pelan mendekati dua sosok yang dari tadi dipandanginya di balik jendela kaca.

"Daddy...dorong lebih keras lagi, please," kata Clara di sela-sela tawanya.

"Nope....nanti kau bisa jatuh." Pria itu ikut tertawa.

"Clara, stop call him Daddy. Dia bukan Ayahmu," timpal Febian.

Dua sosok itu segera berbalik ke arah Febian yang kini sedang bersandar pada tiang ayunan yang lain.

"He'll be my Daddy soon." Clara mengerucutkan bibirnya, ia selalu tidak suka kalau pamannya menengurnya tentang itu terus menerus.

Febian tertawa kecil, ia menatap mata hijau keponakannya yang masih terus berayun sambil cekikilan geli. Rambut ikal coklatnya ikut tertiup angin seperti menari-nari di atas udara. Clara terlihat seperti Fay kecil, adik kecilnya yang dulu begitu manis dengan segala kemanjaannya, ia sangat merindukan sosok itu. Sayangnya sekarang adiknya berubah menjadi monster yang tak terkendalikan.

"Clara turun dari ayunanmu, sudah waktunya makan malam," ujar Febian.

"Sebaiknya kau makan dulu, paman tidak pernah mengejarimu terlambat makan, bukan?" Pria itu segera menurunkan Clara dari ayunannya.

"Oke....Daddy. Tunggu aku di sini." Dengan gerakan cepat Clara mencium pipi pria yang dipanggil "Daddy" lalu berlari menuju pintu ruang makan.

Febian berdecak pelan. "Daddy, hah?! Clara loves you a lot and i hate that"

Pria itu hanya tersenyum lembut. "Bagaimana kabarnya? Aku dengar hari ini dia kembali?" tanyanya, mengambil posisinya yang sama dengan Febian, bersandar pada tiang ayunan.

"Kau tahu kan, aku tak akan pernah setuju dengan pilihan Clara memilihmu menjadi ayahnya. Bukan karena aku tidak percaya padamu, tapi aku lebih tidak percaya dengan wanita sialan itu." Ada sedikit emosi dari suara Febian.

"Wanita itu adalah adikmu. Dia___"

"Tapi tetap saja dia monster, Ivar!" potong Febian segera, ia tahu kalau sahabatnya itu akan segera mengelurakan kata-kata pembelaan pada adiknya. "Dia tidak sama dengan sosok yang kau kenal beberapa waktu silam, bukan gadis manis yang selalu bergeluyutan manja di lenganmu, merengek ketika kau tidak ada, mengikutimu kemanapun kau pergi. Sekarang dia membencimu, Ivar! Dia membencimu!!"

Ivar tersenyum nanar, "Aku tidak akan menikah dengannya kalau dia tidak menginginkannya, Febian. Aku tahu bagaimana dia membenciku, bahkan kata-kata itu masih terlalu baik untukku. Walaupun begitu, dia tetap gadis manis yang dulu pernah ku miliki. Hanya saja saat ini hatinya masih belum terbuka."

"Kau memang bodoh. Kau terlalu baik untuk menjadi suami adikku."

"Bukankah seorang kakak selalu menginginkan jodoh yang baik untuk adiknya," sergah Ivar sambil tersenyum lembut.

PAIN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang