Dua Puluh

15.9K 1K 18
                                        

Maaf yaa lama *Bow*. Otak saya lagi mampet, selembar aja bisa sampai dua jam buat nulisnya. Benar-benar buntu ide...

Enjoy the Story!!!

___________________________

"Apa yang harus kita lakukan, Ivar."

Ivar menggeleng, ia juga tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan untuk mengobati luka hati satu sama lain. Ia mengeratkan pelukannya, isakannya masih terdengar jelas di telinga Fay, walaupun wanita itu sudah ikut tergugu dengannya. "Maafkan aku...maaf...maaf...maaf," ucap Ivar berkali-kali dengan suara dalam dan tulus.

Air mata Fay kembali jatuh ketika mendengar kata maaf berkali-kali dari mulut Ivar. Hatinya terenyuh, merasakan kepedihan yang lain dari suara-suara sendu yang terulang-ulang didekat telinganya.

Terdengar isakan lirih dari keduanya menambah kepiliuan yang diselimuti malam kelam, meresapi semua kesakitan yang telah terjadi selama ini di palung hati. Terisis-iris berulang kali mengalirkan darah yang tak kasat mata, dan luka-luka baru terlahir, menumpuh luka yang sama sekali belum mengering.

Secara perlahan entah sadar atau tidak, Fay mulai mengangkat tangannya dan menyampirkannya pada baru Ivar yang bergetar. Ia mulai mengusap pelan, mencoba meresapi kembali kehangatan yang ia buang beberapa tahun yang lalu. Walaupun kini terasa berbeda, punggung bidang itu menjadi lebih lebar nan terasa rapuh, mungkin karena beban yang selama ini ia beri. Namun, hangat yang ia berikan masih terasa sama, masih bisa memberikan rasa nyaman yang selalu didapatkannya sewaktu dulu.

Tak bisa ia pungkiri, Fay seperti kembali menemukan rumahnya yang hilang. Rumah yang sempat ia cemooh berkali-kali bahkan mengutuknya sedemikian rupa tanpa punya hati dan rasa bersalah. Bagaimanapun ia melawan, namun keadaan sekarang membuatnya menyadari sesuatu. Betapa pun ia membenci rumah itu, betapa pun kurangnya rumah itu, betapa pun ia mencemooh rumah itu, selama masih ada orang yang mencintainya dengan sangat di dalam sana, maka suatu saat nanti, pasti ia akan tetap kembali. Bukan pada rumah itu, tapi untuk orang yang selalu menyediakan tempat nyaman itu untuknya—Hati.

Karena rumah adalah tempat dimana orang-orang tak pernah berhenti mencintai kita.

Fay menarik wajah Ivar dari bahunya perlahan. Wajah pria itu terlihat lebih memiluhkan dari suara-suara lirihnya. Wajah tampannya sembab dan memerah, Fay tahu kalau demam Ivar masih melekat ditubuhnya, ia bisa merasakan sengatan panas di telapak tangannya ketika merangkum wajah miliknya. Dengan perlahan Fay mengusap wajah Ivar yang basah, entah karena peluh dingin atau air matanya sendiri. Pria itu terlihat sangat menyedihkan dan Fay tahu, ia lah tersangka utama dari kepedihan yang tercipta di antara mereka.

"Kau masih demam," kata Fay masih mengusap wajah Ivar dengan tangan kanannya. "Kau yakin tidak ingin ke rumah sakit?" sambung Fay.

Ivar mengeleng pelan, walaupun ia tahu seluruh tubuhnya sudah terasa lelah.

Fay tersenyum. "Beri aku waktu. Aku...akan mencoba menerima semuanya. Sabarlah sedikit..."

Mata Ivar membulat, ia tak menyangka kalau hal itu yang akan keluar dari mulut Fay. Mengingat betapa wanita itu sangat membencinya, tak mungkin secepat itu ia memberi maaf. Namun, ia tak mampu mengatakan apa-apa, mulutnya terkunci. Ia takut sedikit melakukan gerakan akan membuat mimpi indah di hadapannya menghilang.

"Aku akan mencoba," ulang Fay, ketika melihat ekspresi terkejut Ivar. Fay menyatukan kedua kening mereka, lalu tertawa pelan. "Kenapa ekspresimu seperti itu?"

Ivar yang lagi..lagi terkejut mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Namun apa yang Fay lakukan padanya malam ini, memberikannya sebuah penjelasan pasti, bahwa Fay ingin belajar untuk kembali ke hidupnya. Rasa perih yang menekan hatinya selama ini, berlahan menguap dan mencair, membuat sesak yang menekan dadanya setiap waktu terlepas hingga ia merasa ringan ketika ingin menghirup udara di sekitarnya.

PAIN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang