Part 8

8.1K 469 12
                                    


"Makasih tumpangannya," Ify melangkah turun dari mobil Rio

Tadinya Rio ingin mengajaknya makan malam terlebih dahulu, tapi Ify menolak. Sudah terlalu lama ia meninggalkan ayahnya sendirian. Untuk urusan makan, bukan pekara sulit, ia bisa beli di kafetaria atau_

"Lo ngapain turun?"

Rio melangkah santai dan berdiri di samping Ify, "Yuk, masuk,"

"Eh?" Ify mengernyit tidak mengerti

"Gue mau jenguk sebentar, nggak boleh?"

"Bo..., boleh sih. Tapi nagapain?"

"Ayah lo nantang gue main catur beberapa hari yang lalu. Hari ini gue butuh refreshing, lo nggak lupa kan kalau gue besok ada meeting berjam-jam?"

Ify tahu itu alasan aneh, aneh sekali. Tapi ia tetap mengendikkan bahu dan membiarkan Rio membuntuti langkahnya setelah menutup sebagian wajahnya dengan hoody jaket.

Mereka melangkah agak cepat, namun tetap tampak santai.

Ify kadang merasa aneh. Beberapa hari yang lalu ia masih biasa saja dalam urusan berjalan. Tapi sekarang? Entah harus cepat-cepat, entah harus hati-hati, entah harus menerima tatapan sinis, entah harus menerima cibiran, dan lain-lain.

"Ayah," Ify melangkah masuk, berpapasan dengan suster yang hendak keluar

Suster itu hendak menyapa, namun suaranya tersendat di tenggorokan begitu melihat siapa yang berdiri di belakang Ify. Hoody yang menutupi sebagian wajah Rio sudah dilepas,

"Mario Ste...,"

"Vano," lanjut Rio tersenyum manis

Ify mendesis melihat drama kecil di depannya. Yah, mungkin begitulah tampangnya saat pertama kali melihat betapa menawannya Rio yang asli dibandingkan dari televisi.

Tapi masa itu sudah lewat. Sekarang ia sudah terlalu terbiasa dengan wajah menawan itu

+++

"Cakka?"

Untuk sesaat ia terperangah. Ia bahkan sudah mengubur dalam-dalam harapannya kalau Cakka akan kemari menghampirinya.

Tapi apa yang dilihatnya sekarang?

Shilla sadar keadaannya yang berantakan. Ia segera berdiri dan membenarkan letak rambutnya yang diacak-acak Alvin dan dihempas angin bertubi-tubi, membersihkan roknya yang kotor dan telapak tangannya lalu tersenyum pada Cakka

"Hai," sapa Shilla

Cakka tidak menyapa balik, tapi pria itu melangkah mendekatinya. Shilla harus merasakan sesak nafas melihat cara pria itu melangkah, perlahan tapi pasti.

Demi Tuhan! Bahkan cara berjalannya saja, Shilla menyukainya! Apakah ia sudah begitu tergila-gila dengan Cakka?

"Hai," sapa Shilla kembali begitu Cakka berhenti melangkah, kedua ujung sepasang sepatu mereka sudah bersentuhan. Bayangkan, Shilla harus mendongak untuk mampu menatap wajah itu

"Lo seharusnya nggak pergi," ujar Cakka datar, tatapannya menyorotkan tidak suka atas apa yang Shilla lakukan

"Kamu seharusnya jawab pertanyaan Gabriel," balas Shilla menunduk takut-takut, bicara pada Cakka dengan jarak sedekat ini membuatnya gemetaran. Apalagi pria itu mengintimidasinya dengan sorot mata dan aura dinginnya, meski saat pria itu tidak berniat melakukannya.

Sudah pemberian dari Tuhan kalau sorot mata itu tampak dingin dan tidak bersahabat.

"Lihat gue," perintah Cakka

SEASON TO REMEMBER (Book 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang