Beberapa hari berlalu.
Tidak ada yang berubah, udara masih dingin. Sedingin hubungan insan-insan yang dirundung oleh keadaan pelik itu.
Tidak ada yang mencair, atau sedikitpun meleleh. Benar-benar beku dan statis.
Ify tidak pernah lagi menemui Cakka, begitupun sebaliknya. Berpapasan pun, Ify lebih memilih untuk memalingkan wajahnya, tidak ingin tahu apa Cakka menatapnya atau tidak.
Mulut terkatup, tapi mata terbuka lebar
Ia - tanpa sadar - masih seringkali diam-diam menatap lelaki itu dari jarak jauh, sejauh yang ia bisa. Ia masih seringkali mengagumi pria itu saat berjalan melintas di depannya, atau sedang serius membaca di perpustakaan saat ia tak sengaja bertemu, atau bahkan saat sedang berbicara dengan teman-temannya
Apa kamu baik-baik aja?
Pernah sekali, Ayahnya bertanya. Sesungguhnya, Ify bahkan tidak tahu apakah ia baik-baik saja, atau sekarat.
Baiklah, secara fisik dan tampilan luar, dengan kulit yang pucat dengan rona merah di pipi dan bibirnya. Ia jelas baik-baik saja.
Tapi hatinya? Remuk redam.
Aku baik-baik aja.
Tidak. Ia tidak mau membuat siapapun merasa kasihan pada dirinya sendiri. Cukup ia yang merasa kasihan dengan dirinya sendiri.
+++
Pernah merasa seperti... seluruh dunia ada di tanganmu?
Rasanya seperti tidak ada satupun hal di dunia yang akan membuatmu takut. Kamu akan melangkah dan tidak akan takut tersandung lalu melukai kakimu. Kamu akan berlari dan dan tidak sekalipun takut akan tersesat. Bahkan, kamu akan terbang... dan tidak akan takut jatuh.
"Ify pernah merasakan semua itu..."
Tak jelas kemana arah tatapan Ify, begitu kosong seolah apa yang diucapkan bibirnya hanyalah awangan belaka.
Tapi Ayahnya tahu, gadis itu berbicara dari dalam hatinya yang tengah remuk redam saat ini.
"Ify merasakan semuanya... saat bersama Cakka. Ironis, kan?"
"Lalu setelah dunia itu direnggut habis. Kosong, rasanya hampir sama seperti mati. Ify takut. Takut kalau jatuh, takut kalau terlua, takut tersesat. Bahkan rasanya, membuka mata saja Ify takut."
"Sayang... kamu sama seperti Ibumu. Kalian adalah perempuan yang berani," Tangan renta itu mengusap rambut panjang Ify yang halus, "Kamu hanya harus tahu, Sayang. Perasaan itu nggak pernah salah."
"Tapi mencintai Cakka adalah hal yang paling salah, Ayah."
"Bukan, mencintai Cakka adalah sebuah pelajaran untuk kamu. Tuhan nggak pernah melakukan kesalahan, Ify."
Di luar, salju masih turun.
Ify bisa merasakan dingin itu di sela-sela jemarinya yang tidak terbungkus kaus tangan. Dingin yang berbeda dengan musim dingin empat tahun lalu.
"CAKKA!" Ify tersentak saat seseorang melemparkan bola saju itu ke pipinya yang dingin, Ia bisa melihat Cakka tertawa tak jauh darinya
Tangan Ify yang terbungkus kaus tangan itu segera meraup segenggam salju, mengepalnya sejenak sebelum melemparkannya pada Cakka.
Tapi laki-laki itu mengelak, dan membuat lemparan Ify meleset.
"YAH!" Ify memekik semakin kesal
Kaki-kaki kecilnya berlari mengejar Cakka. Seharusnya, sudah sangat jelas kalau ia tidak mungkin mampu mengejar Cakka - yang merupakan atlet lari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEASON TO REMEMBER (Book 1)
Fanfic⚠️ tw // s h *Meet the summer ... Dia adalah musim panas. Musim panas yang hangat dan ceria. Musim panas yang membawa tawa dan bahagia. Musim panas berwarna. Dan musim panas yang tidak berlangsung selamanya. Ashilla Summers, putri tunggal Flint Sinc...