Prologue

13.3K 471 9
                                    

WARNING: CERITA INI MENGANDUNG UNSUR KETIDAKJELASAN YANG SANGAT BERBAHAYA BAGI KESEHATAN, KARENA SEJUJURNYA CERITA INI SAYA BUAT SAAT SAYA BARU PERTAMA KALI NUMBUH GIGI(?) BAGI PEMBACA YANG MEMAKSA INGIN MEMBACA, SILAHKAN SAJA. TAPI MOHON UNTUK MENYIAPKAN KANTONG KRESEK, JAGA-JAGA KALAU DI PERTENGAHAN PART MENGALAMI MUAL. THANKS.

***

Suasana SMA negeri ini cukup ramai. Jelas saja, karena jam istirahat sedang berlangsung. Jadi murid-murid memanfaatkan waktunya dengan makan siang sambil bercengkrama bersama teman-teman.

Beda halnya dengan Freesia. Lengkapnya Fresia Edelweiss. Cewek itu malah asik baca buku di tempat duduknya yang berada di pojok kanan baris ketiga di kelas. Mending kalau yang dibaca buku pelajaran, lah ini, malah novel.

Dia mengangkat kedua kakinya ke bangku yang di duduki teman sebelahnya. Kebetulan orangnya sedang di kantin, jadi Freesia bisa leluasa bersandar dan mengangkat kaki seperti ini. Wajahnya tertutupi oleh sampul buku Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh-nya Dee Lestari.

Semua orang yang ngeliat Fresia sekilas, pasti tidak akan menyangka kalau dia suka membaca buku seperti itu. Sekarang kita lihat penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Rambut di kuncir asal. Lengan baju seragamnya ia tekuk ke atas. Kaus kakinya pendek dan berwarna, bahkan hanya sampai mata kaki. Padahal sekolah menyuruh untuk memakai kaus kaki putih sebetis. Sepatunya converse hitam ala anak gaul jaman sekarang. Dengan penampilan yang urakan itu, orang mungkin menyangka kalau ia tipikal orang penyuka musik-musik metal atau hobi nongkrong di pinggir jalan dengan geng motor.

Alasan dia memilih untuk tetap di kelas bukan karena tidak punya teman. Salah besar. Dia punya teman, banyak malah. Ya, walaupun orangnya malas, Freesia dikenal sebagai orang yang mudah bergaul dan memiliki pembawaan yang asik.

Suara grasak-grusuk mulai terdengar. Sepertinya sudah bel, tapi kapan ya? saking asiknya membaca, sampai-sampai Freesia tidak mendengar kalau bel sudah berbunyi. Kelas sudah kembali penuh, cewek itu menurunkan kakinya dan memasukan buku yang tadi ia baca ke dalam tasnya.

Sesaat kemudian, seorang pria berumur 45 tahun masuk ke kelasnya dengan membawa setumpukan buku dan laptop. Ya, dia Pak Yanto. Guru matematika yang paling tidak di sukai oleh murid satu sekolah. Selain karena kepalanya yang botak, Pak Yanto juga galak. Dia selalu sadis kalau memberi hukuman, walaupun kesalahan yang dilakukan sangat sepele.

"Kumpulkan tugas yang bapak berikan minggu lalu, sekarang!" kata Pak Yanto dengan sedikit berteriak. Seluruh murid ke depan kelas untuk mengumpulkan tugas mereka di meja guru.

Setelah para siswa kembali ke tempat duduk, Pak Yanto menghitung jumlah buku yang telah terkumpul. Jumlahnya Cuma tiga puluh lima, sementara jumlah murid di kelas ada tiga puluh enam.

"Yang tidak mengumpulkan tolong berdiri!" perintah Pak Yanto. Matanya menatap tajam ke arah siswa-siswi.

"Ayo, tunggu apa lagi?!" lanjutnya.

Dengan gerakan ragu, cewek itu berdiri dari kursinya. Ia menatap Pak Yanto ragu. "Saya, Pak."

"Ah, kamu lagi. Ini sudah ketiga kalinya dalam sebulan kamu tidak mengerjakan tugas dari saya!"

Freesia tetap memilih untuk diam. Habis mau gimana lagi, dia memang tidak mengerjakan, kok.

"Kenapa kamu tidak mengerjakan?!"

"Lupa, Pak."

"Masih muda aja udah pelupa, apalagi kalau udah tua!" pekik Pak Yanto geram. "Sekarang kamu keluar dan bersihkan toilet laki-laki lantai satu sampai bersih!"

Freesia membulatkan matanya. Bukan kaget karena Pak Yanto memberikan hukuman, itu sih sudah biasa. Tapi masalahnya, toilet cowok lantai satu kan jorok parah. Ngeliat luarnya aja udah bikin enek, apalagi masuk dan bersihin.

"Serius, Pak?"

"Memangnya saya keliatan bercanda? Sudah sana, cepat keluar dan jalankan hukuman kamu!"

Dengan berat hati, Freesia menangguk. "Iya. Permisi, Pak."

***

"Argh!"

Freesia melempar kain pel ke sembarang arah. Ia keluar meninggalkan toilet laki-lakinya. Sungguh, ia sudah tidak tahan dengan bau toilet itu. Campur aduk, deh. Percuma dong ada petugas kebersihan di sekolah kalau toilet aja nggak penah di bersihin, rutuk Freesia dalam hati.

Cewek itu berjalan di lorong yang sepi. Niatnya sih mau kembali ke kelas.

Freesia mengintip ruang kelasnya melalui jendela, dilihatnya keadaan kelas yang sunyi seperti tidak ada nyawa. Lagipula, siapa sih yang berani berisik di jam pelajaran guru galak itu?

Ia membuka pintu kelas dengan hati-hati, lalu mendongakan kepalanya ke dalam. "sst.. ssst.."

Ahmad, cowok yang duduk di pojok paling depan dekat pintu masuk itu menoleh, alisnya berkerut sambil menatap Freesia.

Freesia berkata sangat pelan, "Pak Yanto kemana?"

"Toilet," jawab Ahmad.

Dengan cepat, Freesia masuk ke dalam kelas dan menyambar tas gamblok miliknya. Ina, teman sebagku Freesia menatap bingung dan berkata, "Mau kemana lo?"

"Cabut!"

Freesia melangkahkan kakinya keluar kelas secepat kilat. Ia berjalan menuju gerbang sekolah. Siapa sih, yang berani kabur saat menjalani hukuman dari guru killer satu sekolah? Kayaknya cuma dia, deh. Ckckck...

"Eh, eh, mau kemana, neng?" tanya satpam yang berjaga di gerbang sekolah.

"Mau pulang lah, Pak," balas Freesia santai. Ia memasang wajah memelasnya sambil memegangi perut dengan kedua tangannya.

"Neng sakit, ya?" kelihatannya Pak satpam itu mulai iba dengan Freesia yang tampak tidak enak badan. "Yaudah, pulang aja. Apa perlu saya antar?"

"Nggak usah Pak, makasih." Jawab Freesia. Nada bicaranya sengaja ia pelankan. "Duluan ya, Pak."

"Hati-hati, neng."

Setelah berhasil keluar dari area sekolah, Freesia tidak lagi memegangi perutnya. Yah, namanya juga acting. Ia menghembuskan nafas lega sambil menepuk-nepukkan kedua tangannya.

Freesia berjalan ke arah kanan. Sekolahnya memang terletak di daerah yang tidak begitu ramai, jadi ia bisa berjalan semaunya. Ia melangkahkan kaki menuju kafe yang berada di perempatan jalan. Tidak jauh dari letak sekolahya.

***

Laugh And PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang